Wednesday, July 09, 2008

Rasionalitas Terjadinya Penyimpangan di Instansi Publik

Di antara tema-tema besar yang menjadi wacana publik belakangan ini menyangkut pembaruan penyelenggaraan birokrasi/pemerintahan (misalnya, good public governance, akuntabilitas dan reliabilitas instansi publik, pemberantasan korupsi/kolusi/nepotisme, demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan), terdapat satu persoalan kecil yang senantiasa luput untuk diungkap, dianalisis dan di tangani secara struktural-rasional yaitu tentang pembiayaan management expenses di lingkungan birokrasi. Management expenses yang dimaksud di sini adalah berbagai pengeluaran/biaya yang pada praktiknya secara kelembagaan harus dibayar/ditanggung oleh satu instansi publik dalam relasinya dengan masyarakat luas dan berbagai instansi publik lain baik bersifat hirarkis maupun horisontal, namun jenis pengeluaran/biaya tersebut tidak tersedia dalam anggaran. Bentuknya antara lain biaya akomodasi dan menjamu tamu dinas, permintaan sumbangan dari organisasi sosial masyarakat, keikutsertaan dalam berbagai perhelatan yang bersifat relasi-koordinatif (misalnya: pameran pembangunan dan pawai mobil hias memperingati hari jadi RI/Propinsi). Termasuk juga pengeluaran untuk tamu “setengah dinas” yaitu pejabat/keluarga pejabat dari instansi lebih tinggi berlibur atau melakukan perhelatan pribadi (acara mantu, khitanan, pesta kawin perak/emas, dsb.) di wilayah kerja satu instansi bawahan.

Tentu sangat sulit diterima nalar orang normal bahwa instansi publik mampu menanggung berbagai beban biaya padahal tidak tersedia anggarannya. Hal ini karena penggunaan anggaran pada instansi publik tidak seperti pada entitas bisnis, yaitu anggaran yang ada ditujukan untuk pembiayaan layanan publik yang tidak berorientasi profit/surplus. Kalau pun timbul penerimaan anggaran dari layanan publik yang dijalankan, dananya tidak dapat dipakai langsung atau dapat dipakai langsung melalui mekanisme yang ditetapkan secara ketat, dan yang pasti bukan untuk pembiayaan management expenses seperti termaksud di atas.

Lantas, dari mana dan dalam bentuk apa sumber-sumber pembiayaan yang selama ini dieksploitasi oleh instansi publik? Rasanya relatif mustahil para pejabat publik/PNS secara sukarela melakukan penghimpunan dana bersumber dari kocek sendiri, lebih-lebih kondisi obyektif sebagian besar PNS tidak semuanya gemah ripah loh jinawi.

Selain itu, mengapa praktik ini terjadi dan terus berlangsung, padahal para birokrat terikat oleh peraturan-peraturan yang bersifat limitatif.

Secara legal formal, sudah ditetapkan berbagai peraturan perundang-undangan yang pada intinya berisi larangan bagi pejabat publik/PNS untuk memberi, menerima, dan/atau menjanjikan sesuatu. Dari pihak mana pun yang secara langsung dan tidak langsung dapat mempengaruhi keputusan yang diambilnya (PP Nomor 30/1980, isinya sumpah jabatan setiap pejabat publik, jiwa, dan semangat UU Nomor 28/1999). Peraturan yang ideal secara tekstual tersebut ditambah kesadaran/kepedulian masyarakat yang kian tajam mengkritisi segala aspek kehidupan birokrasi/birokrat selama empat tahun era reformasi, ternyata tidak menyurutkan praktik terjadinya management expenses di lingkungan instansi pemerintah. Tentu relatif sulit untuk memperoleh data otentik tentang terjadinya praktik ini, tetapi para birokrat yang berada pada “lingkaran dalam manajemen” satu instansi publik tentu "meng-amini" pernyataan ini.


ANALISIS ARTIKEL
Selama ini mungkin kita sering melihat bagaimana pejabat mendapatkan pengawalan ketat, pawai setiap ada hari peringatan,tamu – tamu pejabat datang. Tetapi mungkin tak terduga bahwa biaya yang digunakan untuk kegiatan tersebut tidak ada dalam anggaran sebenarnya. Hal tersebut tentu saja hal yang sangat aneh mengingat biasanya Instansi pemerintah biasanya selalu melakukan audit dan perhitungan dalam anggaran tanpa ada bentuk kegiatan suatu Instansi tanpa dibiayai dari anggaran.
Kecenderungan penguasa, terutama di negara-negara berkembang, untuk melanggar hukum yang dibuatnya sendiri dapat dilacak pada sejarah pembentukan negara-negara tersebut. Berbeda dengan negara-negara industri yang berkesempatan menumbuhkan birokrasi yang berbasis pada prestasi (merit system), kelembagaan politik yang kompetitif, proses pemerintahan yang mapan dan transparan, serta masyarakat sipil yang berpengetahuan cukup (well informed) dan didukung oleh perkembangan media massa, negara-negara sedang berkembang tidak memiliki pengalaman yang sama.
Akibat warisan penjajahan, lembaga-lembaga pemerintah di negara sedang berkembang cenderung lebih lemah, masyarakat sipilnya kurang berperan serta dalam pengambilan keputusan publik, dan proses-proses birokrasi serta politik berlangsung kurang terbuka dan kurang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam kondisi demikian, aparat negara yang efektif, serta kemampuan menegakkan hukum nyaris tidak ada.
Seperti halnya kasus diatas, hal tersebut justru masih diragukan apakah hal tersebut termasuk dalam penyimpangan atau bukan. Dilihat dari kasus tersebut dapat kita lihat memanglah sebuah penyimpangan anggaran. Akan tetapi penyimpangan anggaran tersebut digunakan untuk kepentingan Instansi tersebut, karena untuk keperluan – keperluan protokol seperti diatas memang tidak ada dalam anggaran yang dibuat.

Seharusnya Untuk hal – hal tersebut. Instansi tersebut harus sudah menggarkan dari awal. Agar tidak terjadi kesimpang siuran dalam anggaran. Sehingga tidak terjadi lagi penyelewengan anggaran, walaupun penyimpangan anggaran tersebut digunakan untuk kebutuhan intern istansi tersebut.
Dalam pelaran anggaran kepada pihak pihak yang terkaitpun akan menimbulkan masalah. Apabila Badan Pemeriksa Keuangan mengaudit keuangan instansi tersebut tentunya akan dianggap sebagai penyimpangan. Sedangkan mengenai kebutuhan protokoler terhadap tamu-tamu itu sebenernya sebuah kebutuhan yang tidak perlu dan hanya menghambur – hamburkan anggaran yang tidak perlu. Karena kebutuhan tersebut hanya menguntungkan segelintir orang.
Kalau memang ada penyelewengan, kan ada Hukum yang akan mengatasi semuanya? Inilah justru masalahnya, kita sering benar mendengar bahwa banyak KKN di Indonesia, tapi toch kita lihat jangankan pada saat Orde Baru, bahkan pada saat Reformasi KKN jalan terus dan tak ada yang bisa disalahkan sebagai KORUPTOR, sementara kerugian Negara terus berjalan? Jadi kenapa selalu tak ada yang bisa dihukum? Selalu bisa lolos? Selalu bebas murni? kenapa kenapa? dan 1001 pertanyaan lainnya! Padahal kita punya UU, kitapun punya polisi, punya tentara dan perangkat lainnya?
Satu saja pertanyaan atau pernyataan! Bila UU dan alat/hamba hukum berjalan sebagaimana mestinya maka semuanya akan beres. Jadi segala kekalutan yang terjadi ini adalah disebabkan karena semua UU dan peralatan negara berjalan dengan tidak beres! Penuh kolusi kongkalikong. Padahalkan kita punya Tentara Pembela Rakyat, apabila memang Pengelola Negara yang civil nyeleweng? Ia kalau tentara itu memihak rakyat! kalau justru tentara (pimpinannya) justeru ikut bermain!? malah merekapun ikut menumpuk kekayaan? malah makin sulit korupsi diberantas! malah pemberantas korupsi itu yang akan konyol duluan!
Ini fitnah katanya? Tidak ada buktinya! Walau tidak ada bukti, kenyataan adalah Indonesia miskin dan banyak hutang, tidak ada bukti bukan berarti tidak bisa dibuktikan, akan tetapi setiap yang betul betul ingin menegakkan keadilan dan kebenaran selalu akan kandas ditengah jalan, entah dijegal secara halus, atau dihentikan dengan membuat mati dlsb. Rupanya Bandit di Indonesia sudah merasuk kemana mana; Di DPRnya, di MPRnya, di Kepolisian, di Tentara, jangan dikata di BUMN dan Ditjen Irjen, itulah biang segala KKN. Kita melihat banyak BUMN yang bejibun dengan Hutang tapi para Dirutnya punya 5 mobil mewah, punya tanah dimana mana dlsb, dan ujungnya itu BUMN dengan seenaknya saja diambilalih oleh NEGARA yang artinya harus ditanggung oleh seluruh BANGSA INDONESIA! Beberapa gelintir manusia menikmati nangkanya, sementara Rakyat Indonesia kena getahnya! Yang susahnya main kongkalikong ini bukan hanya ditingkat Pusat saja tapi hampir menyeluruh ke daerah-daerah maka dengan demikian, untuk kemakmuran dan keadilan ini akan makin sangat jauh sekali untuk tercapai. Juga pengadilanpun ikut jadi mafia juga.
Dengan demikian pertanyaan timbul: kapan Indonesia akan Merdeka sepenuhnya? Jawabannya hanya Tuhan saja yang tahu. Benar benar negeri ini sudah sedemikian parah penyakitnya, sementara manusia tidak sadar juga, bahwa perbaikan Indonesia sebenarnya terletak pada kemauan untuk berbuat banyak untuk negeri ini, dan makin hari kita lihat kenyataan tidak demikian, orang tetap berlomba dengan segala cara untuk kalau bisa menjadi kaya atau makin kaya maka kalau tingkat kesadaran berbangsa dan bertanah air serta memakmurkan bangsa makin turun. Saya kira kehancuranlah yng akan kita terima! Ini semua memang kesalahan kita dari sejak pertama Merdeka menyerahkan negeri ini pada perampok, maling, garong, dan mafia! Maka walaupun saya mengemukakan fakta ini. Saya sendiri sebenarnya tidak punya ide bagaimana cara memperbaikinya, karena semua tergantung kesadaran seluruh bangsa ini, baik yang duduk di MPR, DPR, Kepolisian, Tentara, Dirjen, atau Itjen, andaikata mereka tidak sadar dan tetap melakukan kolusi untuk kepentingan pribadi maka tunggu saja HANCURNYA Indonesia ini. Semua tergantung kesadaran dari semua pihak

No comments: