Wednesday, July 09, 2008

Penunjukan Langsung dalam Pengadaan Tinta Pemilu 2004 dan Prosedur yang ada dalam KEPRES No.80 Tahun 2003

Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah saat ini sering kita dengar di berbagai media massa nasional. Pada masa orde baru mungkin jarang sekali kita melihat pengumuman pelelangan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Media massa, namun setelah dikeluarkannya Keputusan Presiden No.80 Tahun 2003, setiap kegiatan Pengadaan barang dan jasa pemerintah harus diumumkan di media massa. Dengan adanya Peraturan tersebut diharapkan setiap Pengadaan Barang dan Jasa pemerintah itu dilakukan secara efisien, efektif, terbuka, dan bersaing, transparan, adil/tidak diskriminatif, dan akuntabel.
Beberapa saat yang lalu setelah Pemilihan Umum 2004 berakhir muncul kasus-kasus yang berhubungan dengan Penyediaan Logistik PEMILU 2004. Dan beberapa pelakunya berhasil dibawa ke meja hijau dan akhirnya berhasil dipenjarakan. Tetapi dari sekian dari banyak kasus tersebut ada yang salah satu keputusan hukumnya masih menimbulkan polemik hingga saat ini. Yaitu mengenai Kasus Prof. Rusady Kantaprawira dalam pengadaan Tinta Pemilihan Umum.
Pada sewaktu menjadi Ketua Panitia Pengadaan Tinta PEMILU Prof. Rusady melakukan metode penunjukan langsung terhadap pemenang kualifikasi pengadaan tinta PEMILU, hal ini disebabkan waktu yang terbatas dan pada waktu itu produsen tinta dalam negeri tidak ada yang memenuhi kualifikasi standar yang telah ditetapkan KPU, berhubung waktu yang semakin terbatas tersebut pada saat sidang Pleno KPU yang pada saat itu dihadiri oleh Ketua KPU juga, Prof. Rusadi selaku Ketua Panitia Pengadaan Tinta Pemilu menyarankan agar dilakukan penunjukan langsung karena para produsen tinta tidak mampu untuk menyediakan tinta PEMILU tepat pada waktunya, sehingga Ketua KPU pun menyetujui saran dari Prof. Rusady untuk menunjuk beberapa produsen tinta tidak hanya satu produsen tetapi beberapa produsen tinta yang sudah memenuhi standar KPU yang saat itu meliputi produsen lokal dan juga produsen dari India yang ditunjuk langsung dalam pengadaan tinta KPU tersebut.
Yang menjadi permasalahan dalam penunjukan langsung tersebut adalah kesalahan prosedur, dalam konteks pengadaan tinta Pemilu 2004, metode penunjukan langsung dapat dibenarkan untuk dipakai dengan pertimbangan waktu yang sangat mepet. Namun sayangnya, panitia pengadaan menerapkan metode tersebut dengan prosedur yang tidak sesuai dengan Keppres No. 80/2003. Jadi, pemilihan metode penunjukan langsung dibenarkan, hanya saja tidak sesuai dengan ketentuan.
Salah satu kesalahan Prosedur Panitia Pengadaan Tinta Sidik Jari Pemilu Legislatif 2004 adalah tidak melakukan pengumuman. Padahal, Pasal 10 ayat (5) Keppres No. 80/2003 menetapkan salah satu tugas suatu kepanitiaan pengadaan adalah mengumumkan pengadaan barang/jasa melalui media cetak dan papan pengumuman resmi untuk penerangan umum, dan jika memungkinkan melalui media elektronik. Tetapi berdasarkan penelusuran penyidik tidak ditemukan bukti panitia telah melakukan pengumuman di media. Dikatakan melanggar Peraturan yang ada yaitu Keppres No. 80/2003 sehingga Prof. Rusady Didakwa sebagai tersangka dalam kasus Kesalahan Prosedur tersebut.
Sebenarnya dalam kasus tersebut Prof. Rusadi hanya mengusulkan penunjukan langsung dalam pengadaan tinta PEMILU 2004. Sedangkan keputusan berada di Pejabat Pembuat Komitmen yaitu Ketua KPU. Dan menurut pendapat beberapa ahli hukum, dakwaan tersebut tidaklah tepat dijatuhkan kepada Prof. Rusady karena pasal – pasal yang dijatuhkan untuk mendakwa Prof. Rusady tersebut hanyalah pasal apabila terjadi situasi yang normal, sedangkan yang dilakukan oleh Prof. Rusady adalah situasi darurat di mana panitia pengadaan Tinta PEMILU harus menyediakan dalam waktu yang sangat sempit sehingga dilakukanlah proses penunjukan langsung.
Jika kita merujuk sebenarnya siapa yang bertanggung jawab dalam proses penunjukan langsung tersebut, Sebenarnya Laporan atau usul panitia kepada KPU tidak memaksa dan tidak mengikat. KPU sebagai lembaga dan penggunaan barang dan jasa mempunyai kekuasaan dan wewenang serta hak penuh untuk menolak atau menerima apa yang diusulkan atau dilaporkan oleh panitia pengadaan. Dengan diterimanya usul panitia pengadaan oleh KPU dan diterbitkannya SK KPU tentang penunjukan rekanan penyedia barang dan jasa, maka secara hukum KPU telah mengambil alih tanggung jawab dari panitia pengadaan.
Sehingga, pihak yang dapat dimintai pertanggungjawaban adalah KPU, bukan panitia pengadaan yang sudah selesai dan dibebaskan dari tanggung jawabnya.

Berdasarkan pertimbangan hukum dalam putusan pengadilan tinggi maupun kasasi menyebutkan berdasarkan fakta persidangan tidak terbukti bahwa Prof. Rusady menikmati uang negara sesuai dengan dakwaan penuntut umum. Jika dikatakan yang diperkaya adalah rekanan, maka hal tersebut sangat tidak logis dan tidak adil, karena pengusaha mana pun juga pasti untuk mendapatkan keuntungan. Fakta persidangan membuktikan bahwa keuntungan para perusahaan rekanan sebesar 10 hingga 15 persen secara bisnis dan akuntansi masih dalam batas kewajaran.
Proses penunjukan langsung rekanan dengan sistem" multi winner"(beberapa pemenang ) dan perata-rataan harga tinta merupakan bentuk penyelesaian yang adil dan bijak mengingat tidak ada satu pun perusahaan tinta yang mampu menyediakan seluruh kebutuhan tinta pemilu dalam waktu singkat. Tindakan itu dilakukan untuk menjamin kesuksesan pelaksanaan Pemilu. Sehingga, kalaupun tindakan tersebut dikatakan melawan hukum secara formal, hal tersebut tetap saja tidak dapat dipidana karena ada dasar pembenar atau alasan pemaaf.
Sebenarnya dalam perkara pengadaan tinta pemilu legislatif 2004, keuangan negara tidak dirugikan karena harga tinta tersebut di bawah Harga Perkiraan Sendiri (HPS) serta di bawah pagu anggaran dari Departemen Keuangan. Berdasarkan hal tersebut, maka unsur melawan hukum, memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi, serta unsur dapat merugikan keuangan negara tidak terbukti.
Apabila salah satu unsur pasal 2 ayat 1 UU No 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang didakwakan kepada Prof. Rusadi itu tidak terbukti, maka dakwaan itu harus dinyatakan tidak terbukti. Maka, majelis hakim agung pada tingkat kasasi, telah jelas melakukan kekhilafan dan kekeliruannya yang nyata dalam putusannya yang menghukum terdakwa.
Pada tingkat kasasi, Rusadi dihukum empat tahun penjara dan denda sebesar Rp200 juta. Namun, hukuman mengganti kerugian negara senilai Rp1,3 miliar yang dijatuhkan oleh majelis hakim pengadilan pertama dihapuskan pada putusan tingkat banding dan kasasi.


Lima bukti baru yang diajukan oleh Rusadi di antaranya perjanjian pelaksanaan pengadaan tinta sidik jari Pemilu Legislatif 2004 yang ditandatangani oleh Wakil Sekjen KPU, Susongko Suhardjo, dan Direktur Utama PT Cipta Tora Utama, Hasan Fatoni. Karena Wasekjen KPU yang menandatangani perjanjian itu, maka seharusnya secara hukum Wasekjen yang secara hukum bertanggung jawab atas pelaksanaan pengadaan tinta Pemilu.
Selain itu, dalam bukti-bukti tersebut terdapat bukti kuitansi pembayaran yang ditujukan pada kepala biro keuangan KPU sebagai bukti baru, karena masalah pembayaran dilakukan oleh Biro Keuangan KPU, maka sebagai ketua panitia pengadaan Prof. Rusady sama sekali tidak berurusan dengan masalah harga dan pembayaran.
Berdasarkan bukti – bukti yang ada tersebut sebenarnya Prof. Rusady tidak dapat didakwa dengan dakwaan Pidana atau Perdata karena tidak ditemukan adanya unsur pelanggaran Pidana atau Perdata yang ada hanyalah sebuah kesalahan prosedur dalam proses penunjukan langsung, dan seharusnya apabila Prof. Rusady akan diberikan hukuman akan kelalaiannya cukup dengan Sanksi administrasi pun sudah cukup.
Kembali kepada Keppres No. 80/2003, sebenarnya peraturan ini masih banyak celah dalam pelaksanaannya. Walaupun Peraturan ini sudah beberapa kali di revisi, tetapi perubahannya hanya bersifat sementara sehingga mengakibatkan peraturan ini agak melenceng dari tujuan awal agar pelaksanaan pengadaan barang dan jasa. Selain itu dalam Keppres ini dirasa kurang lengkap, karena secara keseluruhan ini Keppres ini lebih kepada Metode pelelangan umum, tidak dijelaskan bagaimana tata cara pengadaan lainnya seperti Pelelangan terbatas, Pemilihan langsung, dan penunjukan langsung.
Keppres ini pun tidak menilai barang/jasa berdasarkan kualitas yang baik dan lebih melihat dari penawaran harga terendah maka barang/jasa yang dihasilkan pun tidak berkualitas, sehingga barang/jasa yang diterima lebih cepat rusak, tidak dapat digunakan dalam jangka waktu yang lama, sehingga hal ini menyebabkan inefisiensi karena apabila barang/jasa bekualitas buruk dan tidak tahan lama, maka pemerintah akan lebih sering melakukan pengadaan barang dan jasa, sehingga terjadi pemborosan anggaran.

Analisis Kenaikan BBM

Communication (komunikasi)
Sejak 10 tahun terakhir, kenaikan harga BBM menjadi ritual dilema politik-ekonomi setiap pemerintahan yang berkuasa di Indonesia di Indonesia. Ketika Pemerintahan Soeharto menaikkan harga BBM di tahun 1998, maka demonstrasi masyarakat secara luas di Indonesia mencapai puncaknya dan menjatuhkan pemerintahan tersebut.
Pemerintahan setelah era Soeharto berupaya berbagai cara untuk melunakkan hati masyarakat ketika akan mengumumkan harga BBM naik. Pemerintahan Megawati bahkan tidak ingin melukai hati rakyat miskin dengan mempertahankan agar harga BBM tidak dinaikkan dan subsidi BBM meningkat. Namun secara politik rakyat tidak lagi memilih Megawati pada Pemilu 2004 karena berharap adanya pemimpin baru akan membawa perubahan kebijakan yang secara signifikan berpihak kepada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Pada tahun pertama SBY-JK memerintah, harga dinaikkan dua kali pada tahun 2005, sekitar 30 persen pada sekitar bulan Maret dan lebih dari 120 persen pada bulan Oktober 2005 dengan janji "tidak akan lagi menaikkan harga BBM selama masa pemerintahannya" dan pada bulan Juni 2008 Pemerintah akan kembali menaikkan harga BBM.
Daya Beli Rakyat
Secara ekonomi minyak bumi di Indonesia maupun di dunia sudah semakin langka sehingga kenaikan harga merupakan suatu keniscayaan, yaitu pasti terjadi cepat maupun lambat. Naiknya harga BBM di Indonesia hanya masalah penentuan waktu, karena gejolak kenaikan harga dunia secara terus menerus akan menekan kenaikan harga BBM domestik dalam negeri setiap saat.
Persoalan politik-ekonomi menjadi sangat penting. Apa untungnya kenaikan harga BBM tahun ini bagi rakyat dibandingkan dengan kenaikan pada tahun-tahun berikutnya? Pemerintah sudah mengumumkan bahwa BBM akan dinaikkan segera dan rakyat miskin akan menerima kompensasi berupa Bantuan Langsung Tunai (BLT) serta paket bantuan pangan murah. Dengan kenaikan harga BBM, APBN akan dihemat sekitar Rp25 triliun. Dari jumlah tersebut akan dialokasikan sekitar Rp14 triliun untuk BLT dan bantuan pangan murah untuk rakyat miskin, serta sekitar Rp11 triliun sisanya untuk berbagai program pemerintah lainnya.
Persoalannya adalah BLT hanya diberikan maksimum satu tahun setelah kenaikan harga BBM, dan tidak sama besarnya dengan kenaikan harga barang maupun transportasi, sehingga dapat dipastikan tidak akan membantu daya beli rakyat miskin dalam jangka panjang karena hanya bersifat sementara. Di samping itu, data penduduk miskin yang digunakan hanyalah data Sensus Kemiskinan 2005 yang akan dicoba diperbarui secepatnya, sehingga ketidaktepatan pembagian BLT akan cukup besar.
Pertanyaannya, mengapa pemerintah tidak memiliki data akurat tentang penduduk miskin tahun 2008 atau paling tidak tahun 2007? Jelas pula bahwa berbagai program subsidi atas nama penduduk miskin saat ini lebih dinikmati penduduk tidak miskin karena kelemahan implementasi dari berbagai program tersebut yang tidak menyeluruh. Subsidi pupuk yang tujuannya untuk petani miskin, justru diberikan kepada produsen pupuk, sehingga pupuk murah bersubsidi justru tidak tersedia bagi petani miskin pada saat diperlukan. Subsidi BBM diberikan kepada PLN dan Pertamina yang dampaknya adalah justru bagian terbesar subsidi tersebut dinikmati konsumen kaya. Subsidi pangan berupa raskin maupun minyak goreng murah operasi pasar, keduanya sangat rawan penyimpangan karena tidak dapat lagi membedakan apakah yang menerima orang miskin atau bukan miskin. Ekspor ilegal pupuk dan BBM marak terjadi secara sistematis dan meluas di seluruh daerah. Suatu ironi bagi program subsidi untuk penduduk miskin.
Jalan Keluar (Disposition)
Ada dua kiat utama yang harus menjadi perhatian pemerintah dan perlu didukung masyarakat luas secara sungguh-sungguh: Pertama, mempercepat program pengalihan subsidi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat miskin dari subsidi barang (berupa pupuk, BBM, raskin, dsb) menjadi bentuk subsidi bagi penduduk miskin.
Alasan subsidi BBM sebagai subisidi barang "salah sasaran" selalu menjadi alasan utama untuk menaikkan harga BBM sejak 2005 yang lalu. Namun faktanya selama tiga tahun terakhir ini tetap saja pemerintah mempertahankan skema subsidi barang melalui program pupuk bersubsidi murah untuk petani, beras untuk rakyat miskin, operasi pasar minyak goreng, dan sebagainya.
Pemerintah Indonesia sekarang maupun yang akan datang perlu segera dengan tegas mencanangkan subsidi langsung bagi rakyat miskin secara menyeluruh dengan mengidentifikasi rakyat miskin melalui sensus dan survei BPS di seluruh daerah secara
tahunan, dan memberikan kartu identitas tunggal secara nasional bagi mereka yang tergolong miskin untuk dapat memperoleh jaminan nasional dari pemerintah. Walaupun penduduk miskin tersebut bukan penduduk setempat karena alasan pekerjaan sementara, misalnya, mereka harus tetap dapat memperoleh hak Jaminan Nasional. Sebaliknya tidak boleh seorang penduduk memperoleh lebih dari satu kali jaminan nasional untuk penduduk miskin.
Kedua, agar rakyat segera dapat mengonsumsi energi murah di dalam negeri, pemerintah Indonesia di pusat maupun daerah perlu segera menyukseskan program diversifikasi energi dalam waktu sesingkat-singkatnya, yaitu pengalihan dari konsumsi energi BBM ke energi alternatif. Jadi walaupun harga BBM naik, rakyat tidak perlu khawatir harga listrik, transportasi, dan pengolahan makanan juga akan naik karena pemerintah telah mengalihkan ke sumber energi lain.
Program diversifikasi memang telah disebutkan dalam rencana pemerintah sejak sekitar 1990-an, namun dalam pelaksanaannya ternyata "sangat tidak memadai" karena sebagian besar anggaran yang mendanai berbagai program pemerintah justru mendorong penggunaan BBM yang mahal dan justru mengekspor sumber energi kita yang murah (misal gas bumi).
Pemerintah Indonesia sejak saat ini perlu memfokuskan untuk menghemat energi BBM di dalam negeri, yaitu secara tegas dan segera menghentikan rencana pembangunan berbagai pembangkit listrik bertenaga BBM yang biayanya sekitar Rp2.250 per kWwh. Sebaliknya, pemerintah perlu secara bertahap segera memperluas rencana pembangkit listrik bertenaga panas bumi yang biayanya hanya sekitar sepertiganya, yaitu Rp750 per kWh atau bahkan ke pembangkit listrik tenaga gas yang hanya sekitar seperempatnya, yaitu sekitar Rp550 per kWh.
Sungguh sangat tidak logis keadaan Indonesia saat ini yang justru mengonsumsi energi mahal di dalam negeri dan mengekspor energi murah ke luar negeri. Tidak masuk akal pula di mana Indonesia yang memiliki cadangan panas bumi terbesar dunia justru masih memakai listrik bertenaga BBM, padahal Indonesia sudah menjadi net-importir BBM. Juga sangat tidak logis ketika rakyat Indonesia memerlukan sumber energi murah di dalam negeri seperti gas yang seharusnya dapat dipakai untuk mendukung konsumsi transportasi dan pengolahan makanan rakyat maupun industri di dalam negeri agar biaya produksi murah justru diekspor ke luar negeri dan kita kekurangan bahan bakar gas di dalam negeri.
Saatnya kita menyambut 100 tahun Kebangkitan Nasional dan 10 tahun Era Reformasi dengan niat menjadi tuan di negeri sendiri dan bertekad " Propeningkatan kesejahteraan rakyat: Hemat energi mahal, Pakai energi murah!"

Rasionalitas Terjadinya Penyimpangan di Instansi Publik

Di antara tema-tema besar yang menjadi wacana publik belakangan ini menyangkut pembaruan penyelenggaraan birokrasi/pemerintahan (misalnya, good public governance, akuntabilitas dan reliabilitas instansi publik, pemberantasan korupsi/kolusi/nepotisme, demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan), terdapat satu persoalan kecil yang senantiasa luput untuk diungkap, dianalisis dan di tangani secara struktural-rasional yaitu tentang pembiayaan management expenses di lingkungan birokrasi. Management expenses yang dimaksud di sini adalah berbagai pengeluaran/biaya yang pada praktiknya secara kelembagaan harus dibayar/ditanggung oleh satu instansi publik dalam relasinya dengan masyarakat luas dan berbagai instansi publik lain baik bersifat hirarkis maupun horisontal, namun jenis pengeluaran/biaya tersebut tidak tersedia dalam anggaran. Bentuknya antara lain biaya akomodasi dan menjamu tamu dinas, permintaan sumbangan dari organisasi sosial masyarakat, keikutsertaan dalam berbagai perhelatan yang bersifat relasi-koordinatif (misalnya: pameran pembangunan dan pawai mobil hias memperingati hari jadi RI/Propinsi). Termasuk juga pengeluaran untuk tamu “setengah dinas” yaitu pejabat/keluarga pejabat dari instansi lebih tinggi berlibur atau melakukan perhelatan pribadi (acara mantu, khitanan, pesta kawin perak/emas, dsb.) di wilayah kerja satu instansi bawahan.

Tentu sangat sulit diterima nalar orang normal bahwa instansi publik mampu menanggung berbagai beban biaya padahal tidak tersedia anggarannya. Hal ini karena penggunaan anggaran pada instansi publik tidak seperti pada entitas bisnis, yaitu anggaran yang ada ditujukan untuk pembiayaan layanan publik yang tidak berorientasi profit/surplus. Kalau pun timbul penerimaan anggaran dari layanan publik yang dijalankan, dananya tidak dapat dipakai langsung atau dapat dipakai langsung melalui mekanisme yang ditetapkan secara ketat, dan yang pasti bukan untuk pembiayaan management expenses seperti termaksud di atas.

Lantas, dari mana dan dalam bentuk apa sumber-sumber pembiayaan yang selama ini dieksploitasi oleh instansi publik? Rasanya relatif mustahil para pejabat publik/PNS secara sukarela melakukan penghimpunan dana bersumber dari kocek sendiri, lebih-lebih kondisi obyektif sebagian besar PNS tidak semuanya gemah ripah loh jinawi.

Selain itu, mengapa praktik ini terjadi dan terus berlangsung, padahal para birokrat terikat oleh peraturan-peraturan yang bersifat limitatif.

Secara legal formal, sudah ditetapkan berbagai peraturan perundang-undangan yang pada intinya berisi larangan bagi pejabat publik/PNS untuk memberi, menerima, dan/atau menjanjikan sesuatu. Dari pihak mana pun yang secara langsung dan tidak langsung dapat mempengaruhi keputusan yang diambilnya (PP Nomor 30/1980, isinya sumpah jabatan setiap pejabat publik, jiwa, dan semangat UU Nomor 28/1999). Peraturan yang ideal secara tekstual tersebut ditambah kesadaran/kepedulian masyarakat yang kian tajam mengkritisi segala aspek kehidupan birokrasi/birokrat selama empat tahun era reformasi, ternyata tidak menyurutkan praktik terjadinya management expenses di lingkungan instansi pemerintah. Tentu relatif sulit untuk memperoleh data otentik tentang terjadinya praktik ini, tetapi para birokrat yang berada pada “lingkaran dalam manajemen” satu instansi publik tentu "meng-amini" pernyataan ini.


ANALISIS ARTIKEL
Selama ini mungkin kita sering melihat bagaimana pejabat mendapatkan pengawalan ketat, pawai setiap ada hari peringatan,tamu – tamu pejabat datang. Tetapi mungkin tak terduga bahwa biaya yang digunakan untuk kegiatan tersebut tidak ada dalam anggaran sebenarnya. Hal tersebut tentu saja hal yang sangat aneh mengingat biasanya Instansi pemerintah biasanya selalu melakukan audit dan perhitungan dalam anggaran tanpa ada bentuk kegiatan suatu Instansi tanpa dibiayai dari anggaran.
Kecenderungan penguasa, terutama di negara-negara berkembang, untuk melanggar hukum yang dibuatnya sendiri dapat dilacak pada sejarah pembentukan negara-negara tersebut. Berbeda dengan negara-negara industri yang berkesempatan menumbuhkan birokrasi yang berbasis pada prestasi (merit system), kelembagaan politik yang kompetitif, proses pemerintahan yang mapan dan transparan, serta masyarakat sipil yang berpengetahuan cukup (well informed) dan didukung oleh perkembangan media massa, negara-negara sedang berkembang tidak memiliki pengalaman yang sama.
Akibat warisan penjajahan, lembaga-lembaga pemerintah di negara sedang berkembang cenderung lebih lemah, masyarakat sipilnya kurang berperan serta dalam pengambilan keputusan publik, dan proses-proses birokrasi serta politik berlangsung kurang terbuka dan kurang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam kondisi demikian, aparat negara yang efektif, serta kemampuan menegakkan hukum nyaris tidak ada.
Seperti halnya kasus diatas, hal tersebut justru masih diragukan apakah hal tersebut termasuk dalam penyimpangan atau bukan. Dilihat dari kasus tersebut dapat kita lihat memanglah sebuah penyimpangan anggaran. Akan tetapi penyimpangan anggaran tersebut digunakan untuk kepentingan Instansi tersebut, karena untuk keperluan – keperluan protokol seperti diatas memang tidak ada dalam anggaran yang dibuat.

Seharusnya Untuk hal – hal tersebut. Instansi tersebut harus sudah menggarkan dari awal. Agar tidak terjadi kesimpang siuran dalam anggaran. Sehingga tidak terjadi lagi penyelewengan anggaran, walaupun penyimpangan anggaran tersebut digunakan untuk kebutuhan intern istansi tersebut.
Dalam pelaran anggaran kepada pihak pihak yang terkaitpun akan menimbulkan masalah. Apabila Badan Pemeriksa Keuangan mengaudit keuangan instansi tersebut tentunya akan dianggap sebagai penyimpangan. Sedangkan mengenai kebutuhan protokoler terhadap tamu-tamu itu sebenernya sebuah kebutuhan yang tidak perlu dan hanya menghambur – hamburkan anggaran yang tidak perlu. Karena kebutuhan tersebut hanya menguntungkan segelintir orang.
Kalau memang ada penyelewengan, kan ada Hukum yang akan mengatasi semuanya? Inilah justru masalahnya, kita sering benar mendengar bahwa banyak KKN di Indonesia, tapi toch kita lihat jangankan pada saat Orde Baru, bahkan pada saat Reformasi KKN jalan terus dan tak ada yang bisa disalahkan sebagai KORUPTOR, sementara kerugian Negara terus berjalan? Jadi kenapa selalu tak ada yang bisa dihukum? Selalu bisa lolos? Selalu bebas murni? kenapa kenapa? dan 1001 pertanyaan lainnya! Padahal kita punya UU, kitapun punya polisi, punya tentara dan perangkat lainnya?
Satu saja pertanyaan atau pernyataan! Bila UU dan alat/hamba hukum berjalan sebagaimana mestinya maka semuanya akan beres. Jadi segala kekalutan yang terjadi ini adalah disebabkan karena semua UU dan peralatan negara berjalan dengan tidak beres! Penuh kolusi kongkalikong. Padahalkan kita punya Tentara Pembela Rakyat, apabila memang Pengelola Negara yang civil nyeleweng? Ia kalau tentara itu memihak rakyat! kalau justru tentara (pimpinannya) justeru ikut bermain!? malah merekapun ikut menumpuk kekayaan? malah makin sulit korupsi diberantas! malah pemberantas korupsi itu yang akan konyol duluan!
Ini fitnah katanya? Tidak ada buktinya! Walau tidak ada bukti, kenyataan adalah Indonesia miskin dan banyak hutang, tidak ada bukti bukan berarti tidak bisa dibuktikan, akan tetapi setiap yang betul betul ingin menegakkan keadilan dan kebenaran selalu akan kandas ditengah jalan, entah dijegal secara halus, atau dihentikan dengan membuat mati dlsb. Rupanya Bandit di Indonesia sudah merasuk kemana mana; Di DPRnya, di MPRnya, di Kepolisian, di Tentara, jangan dikata di BUMN dan Ditjen Irjen, itulah biang segala KKN. Kita melihat banyak BUMN yang bejibun dengan Hutang tapi para Dirutnya punya 5 mobil mewah, punya tanah dimana mana dlsb, dan ujungnya itu BUMN dengan seenaknya saja diambilalih oleh NEGARA yang artinya harus ditanggung oleh seluruh BANGSA INDONESIA! Beberapa gelintir manusia menikmati nangkanya, sementara Rakyat Indonesia kena getahnya! Yang susahnya main kongkalikong ini bukan hanya ditingkat Pusat saja tapi hampir menyeluruh ke daerah-daerah maka dengan demikian, untuk kemakmuran dan keadilan ini akan makin sangat jauh sekali untuk tercapai. Juga pengadilanpun ikut jadi mafia juga.
Dengan demikian pertanyaan timbul: kapan Indonesia akan Merdeka sepenuhnya? Jawabannya hanya Tuhan saja yang tahu. Benar benar negeri ini sudah sedemikian parah penyakitnya, sementara manusia tidak sadar juga, bahwa perbaikan Indonesia sebenarnya terletak pada kemauan untuk berbuat banyak untuk negeri ini, dan makin hari kita lihat kenyataan tidak demikian, orang tetap berlomba dengan segala cara untuk kalau bisa menjadi kaya atau makin kaya maka kalau tingkat kesadaran berbangsa dan bertanah air serta memakmurkan bangsa makin turun. Saya kira kehancuranlah yng akan kita terima! Ini semua memang kesalahan kita dari sejak pertama Merdeka menyerahkan negeri ini pada perampok, maling, garong, dan mafia! Maka walaupun saya mengemukakan fakta ini. Saya sendiri sebenarnya tidak punya ide bagaimana cara memperbaikinya, karena semua tergantung kesadaran seluruh bangsa ini, baik yang duduk di MPR, DPR, Kepolisian, Tentara, Dirjen, atau Itjen, andaikata mereka tidak sadar dan tetap melakukan kolusi untuk kepentingan pribadi maka tunggu saja HANCURNYA Indonesia ini. Semua tergantung kesadaran dari semua pihak

Wednesday, July 02, 2008

Praktek Tender yang Buruk (Dalam Pengelolaan APBN

Meskipun terdapat banyak masalah dalam proses perencanaan anggaran di sisi pemerintah dan parlemen, proses implementasi adalah muara dari kebijakan anggaran dan yang paling memiliki potensi terbesar terjadinya kerugian negara dan masyarakat.

Pengadaan barang dan jasa pemerintah adalah bagian dari siklus anggaran yang paling penting sekaligus paling bermasalah. Siklus anggaran bergerak dari perencanaan di tingkat pejabat perencana di departemen atau dinas pemerintah, masuk ke daftar tim anggaran pemerintah, dibahas dalam panitia anggaran legislatif, kemudian disahkan lewat paripurna Dewan dan diimplementasikan lewat proses tender. Meskipun terdapat banyak masalah dalam proses perencanaan anggaran di sisi pemerintah dan parlemen, proses implementasi adalah muara dari kebijakan anggaran dan yang paling memiliki potensi terbesar terjadinya kerugian negara dan masyarakat.


Kerugian negara pada proses tender dapat disebabkan oleh tidak rasionalnya nilai proyek yang disepakati karena penggelembungan anggaran atau tidak bermutunya proyek pemerintah yang dikerjakan (misalnya proyek jalan tol yang ambles). Kerugian kedua biasanya disebabkan oleh dipilihnya pelaksana proyek yang punya tabiat memperbesar budget proyek atau bahkan tidak memiliki kemampuan atau tidak memenuhi kualifikasi dalam melaksanakan pekerjaan. Dipilihnya pemenang dari mereka yang seharusnya kalah tender bisa disebabkan oleh banyak faktor: kedekatan, uang, tekanan politik, atau tekanan kekuasaan karena jabatan yang lebih tinggi.


Kasus surat Sekretaris Kabinet yang saat itu santer sebenarnya hanyalah salah satu modus dalam praktek buruk pengadaan. ICW mendaftar 10 bentuk korupsi yang berkaitan dengan pengadaan. Di antaranya penggelapan, penyuapan, uang komisi, bisnis orang dalam, pilih kasih, dan penyalahgunaan wewenang. Pada prakteknya, dalam pengadaan seperti di atas dapat terjadi dua atau tiga modus secara bersama-sama dalam satu kasus.


Pengalaman kasus yang pernah ditangani pejabat hukum Indonesia menunjukkan dimenangkannya perusahaan yang buruk dalam pengadaan pemerintah karena perusahaan bersangkutan memiliki hubungan yang dekat dengan pejabat yang menjadi eksekutor proyek. Dalam kasus ini, modus suap terjadi untuk membangun kedekatan dan kesepakatan awal dan ada uang komisi sebagai imbalan jika proyek digolkan. Untuk mengusahakan agar proyek tersebut bisa diarahkan ke pihak tertentu, pejabat atau panitia tender dapat melakukan penggelapan dengan tidak membuka identitas peserta tender.


Mereka juga melakukan diskriminasi atau pilih kasih dengan mempersulit peserta tender lain. Tidak hanya itu, mereka mengirimkan surat sakti agar dapat mempengaruhi keputusan panitia tender atau bahkan untuk membatalkan proses tender dan mengarahkannya ke penunjukan secara langsung dengan berbagai alasan. Dalam beberapa kasus, pejabat terkait juga sering kali membocorkan pagu anggaran. Akibatnya, pengajuan proyek dapat didekatkan dengan nilai anggaran untuk memaksimalkan keuntungan sehingga tender menjadi tidak berguna karena tidak mendukung asas efisiensi anggaran.


Praktek surat sakti memiliki konsekuensi hilangnya jabatan akibat tidak patuh pada atasan, apalagi atasannya bukan sembarang atasan. Akibatnya, instansi atau dinas pemerintah bersangkutan harus menurut untuk memuluskan jalan perusahaan tertentu menjadi pemenang. Dalam kasus yang melibatkan Sekretaris Kabinet, Sun Hoo Engineering sudah berkali-kali berupaya membangun kedekatan dengan pemerintah Indonesia sejak 2004 (Koran Tempo, 27 Februari 2006). Upaya pendekatan sudah pernah dilakukan dengan Hamzah Haz, yang pada saat itu masih menjabat wakil presiden. Upaya kedua dilakukan kepada Sekretaris Kabinet pemerintah Yudhoyono-Kalla, yang merupakan orang terdekat di lingkaran kekuasaan.


Ini menunjukkan proyek yang diusulkan tentu bukan sembarang proyek. Selain dananya besar, kepentingan bisnis yang menanti di balik keberhasilan proyek ini juga sudah di depan mata, melihat lokasi proyek yang strategis untuk pengembangan usaha.


Terlepas dari besarnya tanggungan APBN terhadap megaproyek bernilai triliunan ini, upaya Sun Hoo dapat dikategorikan upaya mempengaruhi kebijakan anggaran. Tugas ini seharusnya ada di tangan pejabat perencana pemerintah, dalam hal ini Kementerian Luar Negeri sebagai instansi teknis.
Dengan mendekati Sekretaris Kabinet, Sun Hoo tentu saja membutuhkan dukungan kekuasaan yang lebih besar yang tidak lain berada di tangan Presiden.


Keterlibatan Sekretariat Kabinet, terlepas dari mana yang benar di antara dua surat yang ditandatangani Sudi Silalahi, tentu tidak dapat diterima. Pertama, instansi yang dikomandoi Sudi bukanlah instansi teknis yang bersangkutan. Kedua, sudah disebutkan nama perusahaan, yang menyiratkan keberpihakan orang atau instansi yang terdekat dengan Presiden ini. Dapat dikatakan bahwa pada kasus ini telah terjadi indikasi kuat penyalahgunaan wewenang dan upaya menjagokan perusahaan tertentu. Hal ini jelas melanggar aturan pengadaan yang menyebutkan pengadaan barang dan jasa pemerintah (tender) harus dilakukan agar pembiayaan APBN atau APBD dilakukan secara efisien, efektif, terbuka, dan bersaing.
Juga harus dilakukan secara adil/tidak diskriminatif dan akuntabel. Ketentuan ini diperkuat dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang mengatur agar keuangan negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan (pasal 3 No.1).


Hal ini harus menjadi preseden bagi penegakan hukum atas indikasi korupsi di bidang pengadaan barang dan jasa pemerintah. Ini tentu saja menjadi tantangan sekaligus ujian berat bagi pemerintah Yudhoyono-Kalla.