Wednesday, February 18, 2015

Menuju Pemilukada Serentak

Setelah Hiruk pikuk Pemilihan umum presiden 2014, Indonesia sempat diributkan oleh ulah anggota dewan yang secara aktif, responsif mengesahkan Undang - Undang  Nomor 22 Tahun 2014 tentang pemilihan kepala daerah(Pemilukada) dari yang sebelumnya pemilihan secara langsung oleh rakyat menjadi pemilihan tidak langsung melalui keterwakilan di DPRD. Dalam prosesnya banyak timbul pro kontra terhadap keputusan tersebut, baik dari sebagian fraksi di DPR maupun reaksi keras dari masyarakat yang merasa hak pilihnya dicabut dan beberapa kepala daerah yang akan merasa kesulitan apabila dipilih tidak langsung melalui DPRD. Akibat dari berbagai penolakan tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan (Perppu) Nomor 1 tahun 2014 mengenai UU Pemilukada dimana dalam PERPUU tersebut Pemilukada dilaksanakan secara langsung dipilih oleh rakyat dengan beberapa perbaikan. Setelah melalui proses drama politik yang rumit, akhirnya pada tanggal 20 Januari 2015 PERPUU tersebut disahkan menjadi UU PEMILUKADA.

Setelah pengesahan UU Pemilukada, rupanya dinamika politik masih akan terus berlanjut, karena setelah pengesahan UU terrsebut, DPR berinisiatif melakukan revisi terhadap UU tersebut, ada beberapa point yang dilakukan revisi yaitu : Pertama, calon kepala daerah akan dipilih berpasangan dengan satu wakil. Kedua, penyelenggara Pilkada adah KPU atau KPUD,"tambahnya. Ketiga, sengketa Pilkada diserahkan ke Mahkamah Konstitusi sampai terbentuknya badan peradilan khusus. Badan peradilan khusus harus sudah terbentuk sebelum Pilkada serentak nasional 2027. Keempat, yang masa jabatan kepala daerah habis di tahun 2015 dan semester pertama 2016 Pilkadanya dilaksanakan Desember 2015. Yang masa jabatannya berakhir di semester akhir 2016 dan berakhir 2017 Pilkadanya dilaksanakan di Februari 2017. Yang masa jabatannya berakhir di tahun 2018 dan 2019 Pilkadanya di bulan Juni 2018. Kelima, Pilkada tak menggunakan ambang batas minimal kemenangan. Calon yang mendapat suara terbanyak akan menjadi pemenang. Aturan ini dibuat atas alasan efisiensi. Keenam, hubungan kekerabatan anak atau orang tua, suami-istri, menantu-mertua, tidak boleh ikut Pilkada di satu daerah, kecuali setelah jeda satu masa jabatan. Ketujuh, pembiayaan Pilkada dari APBD dan APBN. Kedelapan, persyaratan pendidikan SMU. Terakhir, uji publik ditiadakan, diserahkan ke masing-masing parpol dalam bentuk sosialisasi.

            Beberapa point dalam revisi tersebut bertentangan dengan semangat perubahan yang diusung oleh UU PEMILUKADA yang baru. Pertama mengenai calon kepala daerah yang harus dipilih secara berpasangan, selama ini dalam prakteknya banyak sekali kepala daerah yang pecah kongsi, data dari Mendagri menyebutkan bahwa hingga saat ini pasangan kepala daerah mencapai angka 93 persen pecah kongsi atau sekitar 986 pasangan dan hanya 7 persen atau 40 yang berpasangan kembali. Hal tersebut terjadi karena adanya “kawin paksa” yang dilakukan oleh parpol pengusung pasangan calon kepala daerah yang hanya melihat faktor politik kekuasaan di daerah tanpa melihat faktor kesesuaian ideologi serta visi misi calon kepala daerah dengan pasangannya, sehingga pada saat menjabat timbul gesekan-gesekan politik yang menyebabkan ketidakharmonisan dalam melaksanakan tugasnya sebagai kepala daerah yang berdampak kepada terhambatnya proses pemerintahan di daerah. Apabila pemilukada tidak dipilih secara berpasangan, maka kepala daerah dapat memilih sendiri wakilnya yang sesuai dengan ideologi serta visi misinya, sehingga kasus pecah kongsi tersebut dapat diminimalisir.

            Point Kedua mengenai penyelesaikan sengketa Pemilukada dimana Mahkamah Konstitusi kembali diberikan mandat setelah sebelumnya sempat diberikan kepada Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi kurang tepat apabila menyelesaikan kasus sengketa PEMILUKADA ini karena MK telah menghapus Pasal 236 C UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 29 ayat (1) huruf UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman terkait kewenangan MK mengadili sengketa pemilukada. Sehingga perlu secepatnya dibentuk badan peradilan khusus yang menangani kasus PEMILUKADA ini,

            Point Terakhir mengenai dihilangkannya uji publik bagi calon kepala daerah sangat disayangkan karena  point ini sangat prinsip dan fundamental. Sebab, uji publik menjadi keniscayaan dalam rangka menciptakan pilkada yang transparan dan akuntabel serta untuk melahirkan pemimpin daerah yang teruji kualitasnya, baik secara moral, intelektual, sosial, serta memiliki rekam jejak yang baik dan tidak tercela.

Walaupun demikian ada beberapa point positif dari revisi UU Pemilukada tersebut antara lain adanya semangat untuk melaksanakan pemilukada serentak secara nasional pada tahun 2020 sehingga akan tercipta pemerintahan daerah  efektif dan efisien serta menghindari konfil dan adanya kepastian hukum hingga terciptanya keselarasan dan harmonisasi, lalu dengan tidak bolehnya keluarga inti kepala daerah untuk mengikuti pemilukada periode berikutnya dapat mencegah adanya politik dinasti yang dikuasai oleh kelompok tertentu.


Setelah pemilihan umum presiden, beberapa partai nasional terlibat dalam konflik internal yang mengakibatkan adanya dualisme kepengurusan partai, hal tersebut dapat menimbulkan masalah dalam proses pemilukada, karena KPU harus melakukan proses verifikasi calon kepala daerah melalui pengurus partai baik di tingkat daerah maupun tingkat nasional. Apabila masalah ini belum terselesaikan maka akan timbul masalah baru dimana masing-masing kepengurusan akan mengajukan calon kepala daerah yang berbeda, dimana KPU hanya akan memverifikasi kepengurusan yang diakui oleh Kemenkumham. Diharapkan konflik internal partai ini dapat segera terselesaikan sebelum proses pemilukada dilaksanakan, sehingga ada kepastian hukum dalam proses pencalonan kepala daerah oleh partai.