11 Nopember 1956 Presiden Sukarno berkenan untuk memberi sebutan Lapangan Merdeka bagi sebuah taman kota , Victoria Park, yang ada di depan kediaman Bupati sampai dengan Jl. Rumah Bola di sisi utara, berbataskan Jl. Gunung Gede di sisi timur dan Jl. Mesjid di sisi barat. Batas kota saat pengukuhannya adalah kali Cisuda di sebelah timur dan kali Cipelang di sebelah barat . Tapi kini kota telah melebar meluas ke hampir segala arah dan ikon kota dulu yang mewarnainya hampir punah semua. Sepanjang jalan raya, kini bernama Ahmad Yani, cuma kantor pos yang masih sisakan wajah lamanya, bioskop tak satupun tersisa. Reruntuhan Indra masih bisa dilihat, Rex jadi gedung Capitol, Gelora dan Garuda berubah jadi Mayofield Mall, Royal jadi sederetan ruko, begitu juga Mustika dan Budaya Timur, Nusantara jadi Bank Mandiri bahkan hotel Merdeka pun kini beralih jadi Tiara Mall. Batas kota memang berpindah meluas di timur dari Cisuda ke Cibeureum sedang di barat Cipelang bergeser ke Cigunung. Seperti juga kota lainnya Orde Baru mewariskan bom waktu ANGKOT bagi setiap ahli warisnya. Jalan Setasiun Timur sampai dengan Jl. Plabuan II (Kapten Harun Kabir) ataupun Jl. Sepur (Lettu Bakri) sampai perlintasan kereta Nyomplong, didepan penjara kota jadi daerah yang dikuasai Angkot dan tak lagi nyaman dilewati oleh siapapun, tanpa bantuan polisi tentunya.
Jalan Bhayangkara adalah tempat tinggalku, dulu namanya jalan Gunung Puyuh dan menurut kisah seorang ibu dari Garut yang pernah bersekolah di Sukabumi pada jaman Belanda nama jalan ini adalah Fogelweg atau jalan burung yang masih bisa ditandai dengan nama nama gang yang ada di sepanjang jalan tersebut adalah nama burung, ditempat lain di Sukabumi nama gang mengambil nama tuan tanah seperti misalnya Gang Adjid, Gang Adiredja; Gang Kartaatmaja; Gang Jayaniti dll, sedang di jalan Gunung Puyuh nama nama gang tersebut mengambil nama burung semisal Gang Kasuari connecting jalan dengan Gang Karimin, , Gang Titiran connecting jalan dengan kampung Kuta, Gang Ketilang yang menghubungkan jalan dengan kampung Rawasalak , Gang Merak yang hubungkan jalan dengan pemakaman Tegalpari dan Gang Gelatik yang hubungkan jalan dengan kampung Sungapan. Tak ada tanggal pasti yang tetapkan kapan Fogelweg berubah jadi jalan Gunung Puyuh, mungkin pada awal pendudukan Jepang saat segala sesuatu yang berbau Belanda diganti dengan bahasa Indonesia. Nama Gunung Puyuh ditetapkan meminjam nama sebuah pesantren besar yang ada di barat daya jalan, salah seorang pengajar di pesantren tersebut adalah Kasman Singadimedja, salah seorang founding fathers republik. Mungkin beliau jugalah yang mengusulkan nama Gunung Puyuh sebagai pengganti Fogelweg. Dalam Ensiklopedia Indonesia entri Kasman Singadimedja Mr. hanya sebutkan beliau sebagai guru pada perguruan Islam di tahun 1939-1941 dan kemudian jadi Daidancho PETA Jakarta . Penggantian nama jalan Gunung Puyuh jadi jalan Bhayangkara bisa dipastikan pada awal tahun 1960an. Secara tersirat HP Jones, bekas duta besar AS di Indonesia, mencatat dalam "Indonesia, The Possible Dreams" peran penting Waperdam/Menlu Subandrio dalam penggantian nama jalan itu.Saat itu nama pesantren kerapdikaitkan dengan gerakan DI - Kartosuwiryo dan nama SPN (Sekolah Polisi Negara) berganti jadi SAKRI (Sekolah Angkatan Kepolisian Republik Indonesia). Saat Jepang menyerang Pearl Harbour pada 7 Desember 1941 dan perang Pasifik pecah, kota Sukabumi jadi tempat pengungsian bagi banyak warga Jakarta (Batavia saat itu). Ironisnya pada sebuah pagi yang cerah setelah malam purnama bulan Safar, Sukabumi mengalami pemboman oleh segerombolan Kobayashi, kapal terbang Jepang dengan tanda bundaran merah di badannya, yang akibatkan kerusakan serius pada beberapa sekolah dan tempat tinggal penduduk. Selama masa pendudukan Jepang tak ada perubahan pada struktur pemerintah kota yang dibuat Belanda kecuali penamaan Jepang pada beberapa bagian dan sebutan Melayu bagi beberapa nama jalan. Pada masa revolusi kemerdekaan kabupaten Sukabumi dan juga kota Sukabumi adalah wilayah terakhir yang bisa dikuasai Belanda lewat Agresi Pertama NICA pada Juli 1947. Akibat dari kebijakan "bumi hangus" yang diterapkan oleh TNI saat mengundurkan diri ke pedalaman, tiga hotel mewah dibakar, sebuah sekolah protestan dan sebuah gudang hasil perkebunan turut hangus dan beberapa rumah warga Cina ikut juga di "bumi hangus"kan . Saat pengakuan kedaulatan Desember 1949, Belanda kembali ke Batavia dan menyerahkan kota ke tangan negara bagian Pasundan, yang kemudian ditolak mentah2 oleh kaum republikein Sukabumi yang menyatakan kesetiaannya kepada 'Republik Jogja' dengan menyebutkan Sukabumi sebagai bagian dari Republik Indonesia.
Berdasarkan Cerita Bapak Iwan Chairul Nasution,
No comments:
Post a Comment