Beberapa hari yang lalu di DPR sedang ramai dibahas mengenai RUU Pemilu dimana alotnya pembahasan mengenai sistem pemilu dan Sekarang sudah disahkan menjadi UU Pemilu sebagai pedoman Pemilu di 2014 nanti.
Di dunia ini hanya dikenal tiga sistem pemilu: mayoritarian, proporsional dan campuran. Yang membedakan sistem mayoritarian dengan sistem proporsional adalah dua hal: pertama, besaran daerah pemilihan; kedua, formula perolehan kursi. Dalam sistem pemilu mayoritarian (yang di sini secara salah kaprah disebut sistem distrik, padahal distrik itu sama dengan daerah pemilihan), jumlah kursi di setiap daerah pemilihannya adalah tunggal, 1 atau satu paket. Sementara formula perolehan kursinya adalah suara terbanyak, bisa metode mayoritas (A>B+C+D, atau 50 persen plus 1), bisa pluralitas (A>B>C>D, atau yang paling banyak yang menang).
Sementara itu dalam sistem pemilu proporsional, jumlah kursi di setiap daerah pemilihannya jamak, atau banyak, atau 2 atau lebih. Sementaranya formula perolehan kursinya adalah proporsional. Prinsip formula proporsional adalah persentase perolehan suara hampir sama dengan persentase perolehan kursi. Artinya, jika partai A meraih 20% suara, dia juga akan mendapat lebih kurang 20% kursi. Semakin persentase perolehan kursi mendekati persentase perolehan suara, semakin sesuai dengan prinsip pemilu proporsional.
Pertanyaannya adalah bagaimana rumus atau formula perolehan kursi itu agar hasilnya benar-benar tidak menyalahi prinsip proporsionalitas. Dalam ilmu pemilu dikenal dua metode: pertama, metode kuota (yang punya dua varian, yaitu kuota murni dan kuota Droop), dan: kedua metode divisor (yang punya dua varian, yaitu divisor D'hont dan divisor Webster).
Sejak Pemilu 1955, pemilu-pemilu Orde Baru, hingga Pemilu 2009, formula perolehan kursi selalu menggunakan metode kuota murni. Metode ini disebut juga metode largest rimander atau Kuota-LR karena ada sisa kursi dan sisa suara, juga disebut kuota Hamilton/Hare/Niemayer, menunjuk pada nama yang menemukannya). Dalam undang-undang pemilu disebut dengan BPP (bilangan pembagi pemilih).
Bagaimana metode kuota bekerja? Gampang saja, bagi perolehan suara masing-masing partai politik dengan jumlah total suara, lalu dikalikan jumlah kursi yang tersedia di daerah pemilihan. Hasil bagi dan kali ini biasanya dalam bentuk pecahan atau desimal. Partai yang memperoleh angka penuh, berarti dapat kursi penuh. Sedang kursi tersisa, dibagikan kepada partai yang mempunyai pecahan terbanyak secara berurutan.
Dalam bahasa udang-undang rumusannya seperti ini. Pertama tentukan BPP atau bilangan pembagi pemilih, dengan cara membagi total suara dengan jumlah kursi yang disediakan di daerah pemilihan. Selanjutnya bagi perolehan suara masing-masing partai dengan BPP. Partai yang akan mendapat angka penuh berarti dapat kursi; sedang sisa suaranya akan dihitung saat merebut sisa kursi bersama suara partai yang tidak mendapatkan angka penuh. Sisa kursi dibagi berdasarkan sisa suara terbanyak.
Secara matematika, metode kuota murni ini cenderung menguntungkan partai menengah dan merugikan partai besar dan kecil. Suara partai besar tersedot untuk mendapatkan kursi penuh, sedang sisa suaranya akan dibandingkan dengan suara partai yang tidak mendapatkan kursi. Sedangkan partai kecil tidak mendapatkan apa-apa karena sisa suaranya pasti lebih banyak dari partai menengah.
Dengan kata lain, jika kuota 1 kursi atau BPP adalah 100 suara, partai yang memiliki 170 suara mendapatkan 1 kursi, sama dengan partai yang memiliki 85 suara, karena sisa suara partai kedua lebih besar daripada sisa suara partai pertama. Itulah sebabnya metode kuota murni tidak disukai oleh partai-partai besar.
Sebagai alternatifnya muncul metode kuota Droop. Perbedaan pokoknya adalah menentukan BPP ditambah jumlah kursi ditambah 1 (m+1), sehingga pada hitungan pertama partai besar tidak terlalu dirugikan, bahkan malah selalu diuntungkan. Metode Droop ini jarang digunakan, karena dianggap mencederai prinsip proporsionalitas.
Sebagai alternatif kedua (yang bertujuan tidak terlalu merugikan partai besar) lahir metode divisor D'hont dengan bilangan pembagi pemilih 1, 2, 3, 4 dst. Cara kerja metode ini adalah sebagai berikut: pertama, membagi perolehan suara setiap partai politik dengan bilangan 1, 2, 3, 4 dst. Hasil bagi tersebut dirangking, dari yang tinggi sampai yang rendah. Rangking tertinggi mendapatkan kursi sesuai dengan jumlah kursi yang tersedia di daerah pemilihan. Misalnya kalau kursinya 7, maka angka rangking 1-7 berarti menunjuk pada perolehan kursi pertama hingga kursi ketujuh.
Secara matematika, metode ini ternyata menguntungkan partai besar. Memang angkanya masih dibawah Droop, tapi tetap tidak fair terhadap partai menengah dan kecil. Sebab prinsip proporsional adalah perolehan kursi partai politik tidak boleh kurang dari kuota yang didapatnya, tetapi juga tidak boleh melebihi dari setengah kuota kuota yang didapatkannya.
Karena itu muncullah metode divisor St Lague atau Webster. Cara kerjanya sama dengan metode d'Hont, hanya bilangan pembaginya saja yang beda. Jika d'Hont bilangan pembaginya 1, 2, 3, 4 dst; Webster menggunakan bilangan pembagi 1, 3, 5, 7, dst.
Hasilnya memang lebih fair jika dibandingkan dengan d'Hont. Bahkan jika dibandingkan dengan kuota murni pun hasilnya lebih fair. Dengan kata lain metode divisor webster tidak mengandung bias terhadap partai besar maupun partai menengah kecil. Itulah sebabnya metode ini banyak dipakai di negara-negara dunia yang menggunakan sistem pemilu proporsional.
No comments:
Post a Comment