Tadi malam, penulis melihat tayangan Provocative di Metro TV yang diasuh rapper-presenter, Pandji Pragiwaksono. Nah, sebagaimana banyak ditemukan di banyak medium percakapan saat ini, masyarakat Indonesia tampak masih saja emosional dan reaktif (namun tidak menguasai persoalan) terkait kisruh Menkominfo dan produsen BlackBerry/BB, Reserach in Motion (RIM), asal Waterloo, Kanada.
Sekedar informasi, penulis selain jurnalis desk ICT Bisnis Indonesia sejak tahun 2005, adalah orang yang menulis buku BlackBerry pertama di Indonesia, BlackBerry for everyone (e-tera Mizan, April 2009). Dari interaksi keintiman penulis terhadap liputan terkait perangkat kreasi Mike Lazaridis selama ini, maka penulis menyimpulkan setidaknya ada enam arogansi RIM di Indonesia:
1. RIM terlalu lama mengindahkan hak-hak masyarakat Indonesia terkait regulasi perdagangan dalam negeri, terutama dalam pembuatan pusat layanan (service center). Kementerian Perdagangan mengatur bahwa produsen perangkat elektronik harus menyediakan pusat layanan sedikitnya satu lokasi dalam satu tahun masa operasionalnya.
Dan tahukah Anda? RIM yang pertama kali diperkenalkan di Indonesia sejak September 2004, baru membuka pusat layanannya pada November 2010.Vendor ponsel lainnya di Indonesia yang memiliki pangsa pasar lebih besar dari RIM (market share 2010 versi GFK sebesar 3%), katakanlah Nokia (sekitar 45%) dan Samsung (18%), commited mendirikan layanan purna jualnya tak genap setahun setelah beroperasi di Indonesia.
Mari kita bandingkan jumlah layanan purna jual RIM di Indonesia yang baru satu lokasi (Sunter, Jakarta) padahal sudah hampir enam tahun beroperasi dibandingkan ponsel merek lokal sekelas Nexian yang sudah punya 54 layanan purna jual, dari Aceh hingga Palu, meski baru berumur kurang dari lima tahun.
Jangan bandingkan dengan Nokia yang setidaknya dalam kurun 10 tahun terakhir ini sudah punya pusat layanan di 46 kota utama seluruh Indonesia. Adalah hal yang tidak masuk akal jika perusahaan global seperti RIM seolah kalah tekad melayani masyarakat Indonesia dari perusahaan lokal seperti Nexian -yang selain punya pusat layanan luas, juga punya standar pelayanan maksimal tiga hari.
Itu sebabnya di medio tahun 2004-2010 awal, masyarakat Indonesia sulit luar biasa jika mengalami kerusakan BB meski masih bergaransi. Cerita bahwa barang rusak diperbaiki di Singapura rata-rata tiga bulan untuk perbaikan BlackBerry adalah kenyataan pahit yang harus dirasakan masyarakat Indonesia.
Padahal harga perangkat ini sempat menyentuh Rp9 juta ketika tipe Bold diluncurkan tahun 2009 lalu.
Apakah seperti itu pelayanan yang pantas diberikan vendor global yang mengantarkan pendirinya masuk jajaran rangking 500 orang terkaya dunia versi Forbes pada 2009 lalu? Apa mereka menilai bangsa Indonesia terlalu kecil, aturan lokalnya bisa diremehkan, sehingga tak perlu serius melayani hak masyarakat Indonesia atas layanan purna jual optimal dan menyebar? Lantas, apa RIM tidak malu (atau mungkin terlalu percaya diri) sehingga layanan purna jualnya tersalip oleh layanan purna jual dari ponsel merek lokal pendatang baru seperti Nexian? Sungguh, Indonesia tidak pantas diperlakukan demikian.
2. RIM terlalu lama memandang remeh kemampun ekonomi bangsa ini. Meski sikap mereka saat ini sudah berkebalikan 180 derajat, namun kurun 2004-2009,perusahaan ini cenderung memandang sebelah mata. Mereka tidak membuka perwakilan resmi di Indonesia, hanya menerapkan afiliasi bisnisnya di Indonesia ke kantor perwakilan Asia Tenggara mereka di Singapura. Sikap ini dikarenakan periode awal penjualan BlackBerry tipe awal seperti BB 6280 yang diluncurkan Indosat dan Telkomsel pada akhir 2004, bisa dibilang gagal total. Masyarakat Indonesia, termasuk segmen menengah-atas,tetap melirik Nokia sebagai merek referensi. RIM menilai potensi pasar Indonesia kecil.
Namun cerita berubah setelah demam Facebook melanda Indonesia pada 2008, seketika itu BB mulai dilirik.Apalagi operator Indonesia berani merilis skema tarif pertama di dunia, yakni tarif harian hanya Rp5000. Maka, penjualan BlackBerry pun melesat kencang. Reseller dibuat untung besar oleh perangkat satu ini,sampai muncul anggapan masyarakat urban bahwa hanya ada dua ponsel di dunia, BlackBerry dan non-BlackBerry! RIM kemudian menjilat lidah setelah melihat tren penjualan massif ini. Terbukti saat meluncurkan seri Gemini 8520 pada Juli 2009, Indonesia-lah yang dipilih menjadi negara pertama di dunia dalam peluncuran tersebut. Namun itu pun tetap, saat peluncuran Gemini, masih belum dibarengi dengan layanan purna jual optimal.
Apa pantas bangsa sebesar ini diremehkan, disanjung, dan diremehkan lagi?
Sungguh, Indonesia tidak pantas diperlakukan demikian.
3. RIM terlalu lama menyedot devisa dari masyarakat Indonesia tanpa giveback sepadan! Seperti diketahui bersama, setiap pengguna ditarik fee rata-rata
US$6-7 dollar per bulan (bersih) oleh RIM. Ini adalah benar-benar uang berlanganan,atau kasarnya upah menjaga server milik mereka di dunia. Jika benar akumulasi klaim pengguna BB versi enam operator mitra RIM di Indonesia yang totalnya mencapai 3 juta nomor, maka sedikitnya uang Rp189 miliar per bulan atau Rp2,2 triliun per tahun akan terbang ke Kanada tanpa menetes sedikit pun ke tanah air. Lantas, apa yang berikan kembali?Bisa dibilang sangat sedikit! Memberangkatkan komunitas pengguna ke Wireless Conference di Orlando dan membuka akses ke pengembang aplikasi lokal adalah sebagian dari timbal balik yang diberikan. Umumya, timbal balik hanya dalam bentuk melayani komunitas pengguna,bukan masyarakat Indonesia keseluruhan.
Buktinya, pusat layanan hanya tersedia di Jakarta, bagaimana dengan pengguna BB di Makassar, misalnya. Tentu saja,ini sangat-sangat tidak seimbang. Juga, jangan bayangkan RIM sebagai perusahaan yang mau aktif menerapkan CSR korban bencana di Indonesia-- seperti yang kerap dilakukan perusahaan asing ICT macam Indosat dan XL. Jadi, jika yang bisa dilakukan hanya menyedot triliunan rupiah dari Indonesia tanpa mengembalikan ke rakyat,akankah arogansi khas kapitalisme ini akan terus kita terima? Sungguh, Indonesia tidak pantas diperlakukan demikian.
4. RIM selalu merasa besar kepala dan di atas angin terhadap regulasi di Indonesia.Ini memang ada andil dari kurang tegas dan tidak konsistennya sikap pemerintah dalam menegakkan aturan. Namun tahukah Anda, RIM kerap tidak memenuhi undangan dari pemerintah.Selalu saja ada alasan penanggung jawabnya sedang ada di Singapura/Kanada. Padahal undangan itu terkait nasib bangsa Indonesia,seperti soal collocation server di Indonesia. Lantas, untuk apa membuka kantor perwakilan di Indonesia? Untuk apa hadir namun mengabaikan regulasi setempat--bukankah dimana bumi di pijak,di situ adat dijungjung.Apa karena merasa bagian dari Kanada --yang menurut bocoran diplomatik di Wikileaks, selalu dianggap kawan sejati oleh Amerika Serikat-- maka selalu merasa di atas angin? Sungguh,Indonesia tidak pantas diperlakukan demikian.
5. RIM tidak pernah benar-benar melihat potensi dalam negeri. Apa pasal?
Hingga saat ini,RIM diduga kuat menyimpan data mirroring-nya di Singapura.
Penulis pernah berkunjung langsung ke pusat layanan sewa data duplikasi di negeri jiran tadi,dan mendengar info bahwa miliaran rupiah mereka keluarkan untuk menyewa setiap bulannya. Padahal,layanan serupa di Indonesia sudah hadir lama,mulai dari Jakarta, Surabaya,hingga Batam seperti yang diberikan Omdata, Telkom, dst.Okelah kalo server utama mereka tidak bisa ditempatkan di Indonesia (sebagaimana juga kengototan mereka di negara lain), tapi mengapa duplikasi data cadangan pun masih disimpan di Singapura? Bukankah itu berarti kita kehilangan potensi ekonomi sekaligus transfer ilmu?
Sungguh,Indonesia tidak pantas diperlakukan demikian.
6. RIM tidak menghormati tekad kedaulatan informasi Indonesia. Ini juga bisa dibaca bahwa secara tidak langsung,mereka enggan ikut mendukung upaya Indonesia bersih dari KKN. Mengapa? Dengan menerapkan ekslusif server di Kanada, maka sesungguhnya data sepenting apapun (mudah-mudahan Presiden SBY tidak menggunakan BB) akan bisa dibuka di Kanada. Mereka bisa melihat telanjang bulat informasi di negeri ini. Di sisi lain, dengan cara ini, maka KPK dan PPTAK akan kesulitan membuka percakapan rahasia para koruptor dan berandalan perampok negeri. Demikian pula dengan melenggang bebasnya kaum kriminil lain seperti bandar narkoba, peretas m-banking, yang menggunakan askes ekslusif ini. Bukankah ini yang tidak inginkan, bukankah kita selalu teriak keras soal korupsi dan kejahatan? Lantas,mengapa kita malah menghujat pemerintah yang ingin menegakkan kedaulatan informasi dan menegakkan kehormatan dari ekslusifime borjuis ICT macam RIM ini? Sungguh,Indonesia tidak pantas dipelakukan demikian.
Garuda di dadaku, Garuda kebanggaanku.
Muhammad Sufyan
(Jurnalis Bisnis Indonesia Biro Bandung dan Koordinator Liputan Tabloid Hape Bandung
No comments:
Post a Comment