Wednesday, October 27, 2010
LAMPU KENDARAAN SEBAGAI BAHASA DI JALANAN
kumpulan pengendara yang satu sama lain harus berkomunikasi agar dalam
berintreraksi menggunakan jalan tersebut dapat dipahami secara bersamaan
dengan tujuan dan maksud masing-masing.
Selain untuk komunikasi, lampu juga dimaksudkan sebgai satu alat
keselamatan.
Lampu Kendaraan selain sebagai penerangan, juga berfungsi sebagai
"Bahasa Di Jalan" melalui isyarat dan penggunaannya.
Mengingat merupakan Bahasa, maka dalam komunikasi tentu harus dalam
pengertian bahasa yang sama, yang dipahami semua pihak (pengguna jalan).
Beberapa hal mengenai Penggunaan Lampu Kendaraan :
1. Tinggi Lampu : Berdasarkan peraturan lalu lintas, bahwa paling tinggi
lampu pada suatu kendaraan adalah lk. 1.2 meter dari permukaan tanah.
Jadi untuk lampu-lampu tambahan yang dipasang di atap mobil (seperti
lampu di mobil Offroad, hanya boleh dinyalakan bukan di jalan umum).
2. Lampu Kecil (Lampu Senja) : Istilah Lampu Senja, untuk lampu kecil
hanya ada di kita. Penggunaan lampu senja bukan berarti digunakan saat
Senja hari (jelang Maghrib). Tidak ada pemakaian lampu Senja sambil
kendaran berjalan. Pada saat Senja, bila dirasa kita butuhkan
penerangan, maka gunakan Lampu Besar (Head Lamp).Lampu Senja digunakan
hanya "saat mobil Parkir dipinggir jalan, dimana tidak terdapat lampu
penerangan disekitarnya ". Dan umumnya bersifat parkir sementara (tidak
terlalu lama).Seolah mobil itu kepada pengguna jalan lain berkata :
"hati-hati, aku ada disini, jangan sampai menabraku, aku diam ditempat
gelap"
3. Lampu Hazard : Digunakan hanya saat kendaraan berhenti dalam kondisi
darurat (misalnya mengalami mogok) di tempat yang tidak semestinya
(misalnya di bahu jalan raya, ataupun jalan Tol). Seolah mobil itu
berkata : " hati-hati, aku ada dijalanmu, aku berhenti, aku punya
masalah, butuh bantuan".Kesalahan umum yang sering dilakukan di kita,
menggunakan Lampu Hazard saat Hujan dan saat Masuk Terowongan.Penggunaan
Lampu Hazard saat Hujan atau sambil mobil berjalan, akan membahayakan
pengguna mobil di belakangnya, karena menimbulkan kelelahan mata.
Lampu Hazard tidak untuk digunakan saat mobil berjalan ! Bayangkan kalau
kita gunakan lampu Hazard saat mobil jalan, kita ingin membelok ke kiri
atau ke kanan, lampu mana yang akan kita gunakan sebagai "bahasa isyarat
membeloknya? ".
4. Lampu Besar : Lampu Besar digunakan untuk penerangan kendaraan di
bagian jalan di depan yang akan dilalui.Pada saat memasuki terowongan
sering kita temui perintah " Nyalakan Lampu". Di terowongan, yang
dinyalakan adalah Lampu Besar, tujuannya untuk penerangan dan keamanan
kita saat melaluinya. Jadi waktu masuk terowongan bukan menyalakan Lampu
Hazard atau Lampu Senja, tetapi Lampu Besar.!Bahkan di beberapa mobil
kelas Premium keatas, Lampu Besar ini akan menyala Otomatis saat
memasuki Terowongan, maupun saat senja (mulai gelap).
Untuk keamanan saat Hujan, maka yang digunakan juga Lampu Besar, bukan
Lampu Hazard !
5. Lampu Sein : Ini sudah kita ketahui gunanya, hanya digunakan saat
membelok, atau berpindah jalur.Lampu Sein harus mudah terlihat dari
jauh, oleh karenanya dipilih warna kenuning-kuningan, dimana warna ini
mempunyai panjang gelombang yang cukup panjang, sehingga mudah
tertangkap mata manusia dari jarak jauh.Hal yang salah yang sering
dilakukan oleh pemilik kendaraan, adalah mengganti mika lampunya menjadi
berwarna gelap. Sungguh ini mengundang bahaya untuk dirinya sendiri.!!
Jadi :
1. Tidak menggunakan Lampu Kecil saat senja, nyalakan langsung Lampu
Besar.
2. Saat Hujan, nyalakan Lampu Besar, bukan Lampu Hazard.
3. Saat masuk Terowongan, nyalakan Lampu Besar. Bukan Lampu Hazard.
4. Saat parkir di tempat gelap yang tidak ada penerangan sekitarnya (dan
bersifat sementara), nyalakan lampu kecil (lampu senja).
5. Tidak mengganti warna Lampu Sein dengan warna yang bukan semestinya
(standardnya) ?
Sumber: Dari berbagai macam Sumber
Wednesday, October 06, 2010
Hukum Menambah Nama Suami di Belakang Nama Istri
Diambil dari voa-islam.com dan beberapa sumber lainnya.
Pertanyaan:
assalamualaikum Wr.Wb.mohon bertanya apa hukumnya menambah nama suami dibelakang nama isteri, seperti misalnya HIllary clinton yg menambah nama suaminya (clinton) dari bill clinton, kalau dari lajnah daimah saudi dibilang gak boleh, adakah dari fatwa lembaga lain berpendapat lainnya atau kah sama, ataukah ada pendapat2 dari fiqh 4 mazhab yg berpendapat dalam masalah ini, mengingat ini adalah masalah kontemporere.
Jawab :
Penisbatan istri kepada nama suaminya merupakan hal yang belum dikenal dizaman para salasus shalih dahulu, namun baru dikenal dizaman ketika kaum muslimin mulai berinteraksi dengan budaya barat yang memang tidak memiliki jati diri.
Dalam ajaran Islam seorang istri tidak boleh menambahkan nama suaminyaatau nama keluarga suaminya yang terakhir setelah namanya sebagaimana banyak terjadi kepada non-muslim berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari (3508) bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَيْسَ مِنْ رَجُلٍ ادَّعَى لِغَيْرِ أَبِيهِ وَهُوَ يَعْلَمُهُ إِلَّا كَفَرَ ، وَمَنْ ادَّعَى قَوْمًا لَيْسَ لَهُ فِيهِمْ – أي نسب - فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
Artinya: (tidaklah seseorang mendakwakan kepada selain ayahnya sedangkan dia mengetahuinya kecuali dia telah kafir, barangsiapa yang mendakwakan kepada suatu kaum sedangkan dia tidak memiliki nasab dari mereka, maka hendaklah dia memesan tempatnya dalam neraka).
وقال صلى الله عليه وسلم : ( مَنْ انْتَسَبَ إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ .. فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ ) رواه ابن ماجة (2599) وصححه الألباني في صحيح الجامع (6104
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: (Barangsiapa yang menisbatkan dirinya kepada selain ayahnya, maka baginya laknat Allah, para malaikat dan manusia seluruhnya) HR Ibnu Majah(2599) dan dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ (6104).
Dalam dua hadits diatas ada ancaman keras bagi yang mengganti nama ayahnya atau keluarganya dan menisbatkan dirinya kepada keluarga atau kaum yang bukan asalnya.
Disamping itu perbuatan ini juga merupakan tasyabuh (menyerupai) orang-orang kafir, karena tradisi yang tercela ini tidak pernah dikenal kecuali dari mereka, dan dari merekalah sebagian kaum muslimin yang awam mengadopsinya.
Dalam perbuatan itu juga ada unsur pengingkaran seorang wanita kepada keluarganya dimana hal itu bertentangan dengan sifat kebajikan, ihsan dan akhlak yang mulia.
Sesungguhnya sangat banyak pengaruh dari tasyabuh dengan orang-orang barat dalam hal pemberian nama, diantaranya yang banyak terjadi sekarang ini yaitu dengan menghapus antara namanya dan bapaknya sebutan bin atau binti, yang dahulu sebabnya adalah karena sebagian keluarga mengangkat sebagian orang menjadi anak angkat, sehingga mereka menambahkan nama mereka dibelakangnya, maka jadilah mereka (fulan fulan), yaitu untuk membedakan anak kandung mereka yang dipanggil (fulan bin fulan), kemudian pada abad 14 H mereka mulai menghapus sebutan bin ataubinti dari anak kandung mereka dimana hal itu merupakan perkara yang diingkari baik secara bahasa, adat maupun syar’ie.
Diantara pengaruh lain dari penisbatan istri kepada nama suaminya karena aslinya: bahwa seorang wanita haruslah dipanggil (fulanah binti fulan), bukan (fulanah istri fulan) meskipun kita tahu bahwa suami memiliki kedudukan sangat tinggi bagi istrinya, bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan seandainya sujud kepada manusia diperbolehkan niscaya seorang istri diperintahkan untuk sujud kepada suaminya.
Dalam hal ini Allah Ta’alaa berfirman:
{ ادعوهم لآبائهم هو أقسط عند الله } [ الأحزاب:5]
Artinya: (panggilah mereka kepada bapak-bapak mereka itu lebih adil disisi Allah) [QS Al-Ahzab:5].
Perintah ini tidak hanya berlaku di dunia tetapi juga di akhirat sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
قال النبي صلى الله عليه وسلم " إن الغادر يرفع له لواء يوم القيامة ، يقال هذه غدرة فلان بن فلان " . رواه البخاري (5709) ، ومسلم (3265).
“Sesungguhnya pengkhianat akan dikibarkan untuknya bendera pada hari kiamat, lalu dikatakan inilah pengkhianatan fulan bin fulan” HR Imam Bukhari (5709) dan Muslim (3265).
Syeikh Bakr Abu Zaid hafidhohullah berkata: ini termasuk rahasia dalam syariat, karena penisbatan kepada bapak lebih kuat untuk dikenal, dan lebih dalam untuk dibedakan, karena bapak adalah yang memiliki hak kepemimpinan atas anaknya dan ibu anaknya di rumah dan di luar. Oleh karena itu bapak muncul dalam perkumpulan dan pasar-pasar, dan dia rela menempuh bahaya dalam safarnya untuk mendapatkan rizki yang halal dan berusaha demi kebaikan dan kelancaran urusan mereka, maka sangat pantas untuk menisbatkan anak kepadanya bukan kepada ibu-ibu mereka yang diperintahkan oleh Allah Ta’alaa dalam firman-Nya (Dan diamlah kalian dalam rumah kalian) [QS Al-ahzab:33]. Lihat kitab Tasmiyatul Maulud: 30.
Oleh karena itu: karena tidak adanya hubungan nasab antara suami dan istri maka bagaimana bisa ditambahkan kepada nasabnya, kemudian barangkali suatu saat dia dicerai, atau suaminya mati, lalu menikah dengan pria lain, maka apakah penisbatan kepada suaminya akan senantiasa berubah ketika dia hidup dengan pria lain ?
Ditambah lagi bahwa penisbatan kepada ayahnya berkaitan dengan hukum-hukum warisan, nafkah, kemahraman dan lain-kain maka penisbatannya kepada suaminya akan merusak semua itu.
Kemudian ketika suami menisbatkan dirinya kepada bapaknya lalu apa kaitan istri dinisbatkan kepada bapak mertuanya ? Tentu ini adalah sesuatu yang menyimpang dari akal sehat dan kenyataan.
Tidak kita temukan dalam sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menunjukkan bahwa istri dinisbatkan kepada suaminya, bahkan ini merupakan perkara baru yang tidak ditetapkan oleh syariat Islam, karena para istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yaitu para ibu kaum mukminin menikah dengan manusia yang paling mulia nasabnya namun tidak seorang dari mereka yang dinisbatkan kepada nama beliaushallallahu ‘alaihi wasallam, bahkan mereka semua masih dinisbatkan kepada ayah mereka meskipun kafir, demikian pula para istri sahabat radhiallahu anhum dan yang datang setelah mereka tidak pernah mengganti nasab mereka.
Kesimpulannya kita sebagai muslim yang memiliki jati diri, yang taat kepada Allah Ta’alaa dan mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hendaklah menghindari hal-hal seperti ini karena adanya larangan tasyabuh dengan mereka apalagi biasanya hal itu hanya ditujukan untuk mencari sensasi.
Wallahu A’lam
(ar/voa-islam.com)
Apakah wajib secara syar’i bagi seorang wanita menyertakan nama suaminya atau sebisa mungkin tetap menggunakan nama aslinya?
Jawab :
:الحمد لله ربِّ العالمين، والصلاة والسلام على من أرسله الله رحمة للعالمين، وعلى آله وصحبه وإخوانه إلى يوم الدين، أمَّا بعد
Tidak boleh dari segi nasab seseorang bernasab kepada selain nasabnya yang asli atau mengaku keturunan dari yang bukan ayahnya sendiri. Sungguh islam telah mengharamkan seorang ayah mengingkari nasab anaknya tanpa sebab yang benar secara ijma’.
Alloh berfirman :
ادْعُوهُمْ لآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِندَ اللهِ فَإِن لَّمْ تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُم بِهِ وَلَكِن مَّا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَّحِيمًا
Dan sabda nabi shollallohu alaihi wa sallam :
مَنِ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ أَوْ انْتَمَى إِلَى غَيْرِ مَوَالِيهِ، فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ وَالمَلاَئِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ، لاَ يَقْبَلُ اللهُ مِنْهُ يَوْمَ القِيَامَةِ صَرْفًا وَلاَ عَدْلاً
“Barang siapa yang mengaku sebagai anak kepada selain bapaknya atau menisbatkan dirinya kepada yang bukan walinya, maka baginya laknat Alloh, malaikat, dan segenap manusia. Pada hari Kiamat nanti, Alloh tidak akan menerima darinya ibadah yang wajib maupun yang sunnah”
Dikeluarkan oleh Muslim dalam al-Hajj (3327) dan Tirmidzi dalam al-Wala’ wal Habbah bab Ma ja’a fiman tawalla ghoiro mawalihi (2127), Ahmad (616) dari hadits Ali bin Abi Tholib rodhiyallohu anhu.
Dan dalam riwayat yang lain :
مَنِ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ غَيْرُ أَبِيهِ، فَالجَنَّةُ عَلَيْهِ حَرَامٌ
“Barang siapa bernasab kepada selain ayahnya dan ia mengetahui bahwa ia bukan ayahnya, maka surga haram baginya.”
Dikeluarkan oleh Bukhori dalam al-Maghozi bab : Ghozwatuth Tho`if (3982), Muslim dalam “al-Iman” (220), Abu Dawud dalam “al-Adab” (bab Bab Seseorang mengaku keturunan dari yang bukan bapaknya (5113) dan Ibnu Majah dalam (al-Hudud) bab : Bab orang yang mengaku keturunan dari yang bukan bapaknya atau berwali kepada selain walinya (2610) dan Ibnu Hibban (415) dan Darimi (2453) dan Ahmad (1500) dan hadits Sa’ad bin Abi Waqqosh dan Abu Bakroh rodhiyallohu anhuma.
Maka tidak boleh dikatakan : Fulanah bintu Fulan sedangkan ia bukan anaknya, tetapi boleh dikatakan : Fulanah zaujatu Fulan (Fulanah istrinya si Fulan) atau tanggungannya si Fulan atau wakilnya Fulan. Dan jika tidak disebutkan idhofah-idhofah ini -dan hal ini sudah diketahui & biasa- maka sesungguhnya apa-apa yang berlaku dalam adat, itulah yang dipertimbangkan dalam syari’at-.
Pertanyaan :
Telah umum di sebagian negara, seorang wanita muslimah setelah menikah menisbatkan namanya dengan nama suaminya atau laqobnya. Misalnya: Zainab menikah dengan Zaid, Apakah boleh baginya menuliskan namanya : Zainab Zaid? Ataukah hal tersebut merupakan budaya barat yang harus dijauhi dan berhati-hati dengannya?
Jawab :
Tidak boleh seseorang menisbatkan dirinya kepada selain ayahnya.
Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman:
ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ
“Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil di sisi Allah.” [QS al-Ahzab: 5]
Mohon kritikannya temans, apabila ada masukan mohon di share biar kita sama2 tahu... Thx ^_^