Setelah
Hiruk pikuk Pemilihan umum presiden 2014, Indonesia sempat diributkan oleh ulah
anggota dewan yang secara aktif, responsif mengesahkan Undang - Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang pemilihan kepala
daerah(Pemilukada) dari yang sebelumnya pemilihan secara langsung oleh rakyat
menjadi pemilihan tidak langsung melalui keterwakilan di DPRD. Dalam prosesnya
banyak timbul pro kontra terhadap keputusan tersebut, baik dari sebagian fraksi
di DPR maupun reaksi keras dari masyarakat yang merasa hak pilihnya dicabut dan
beberapa kepala daerah yang akan merasa kesulitan apabila dipilih tidak
langsung melalui DPRD. Akibat dari berbagai penolakan tersebut, Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono mengeluarkan (Perppu) Nomor 1
tahun 2014 mengenai UU Pemilukada dimana dalam PERPUU tersebut
Pemilukada dilaksanakan secara langsung dipilih oleh rakyat dengan beberapa
perbaikan. Setelah melalui proses drama politik yang rumit, akhirnya pada
tanggal 20 Januari 2015 PERPUU tersebut disahkan menjadi UU PEMILUKADA.
Setelah
pengesahan UU Pemilukada, rupanya dinamika politik masih akan terus berlanjut,
karena setelah pengesahan UU terrsebut, DPR berinisiatif melakukan revisi
terhadap UU tersebut, ada beberapa point yang dilakukan revisi yaitu : Pertama, calon kepala daerah akan dipilih berpasangan
dengan satu wakil. Kedua, penyelenggara Pilkada adah KPU atau
KPUD,"tambahnya. Ketiga, sengketa
Pilkada diserahkan ke Mahkamah Konstitusi sampai terbentuknya badan peradilan
khusus. Badan peradilan khusus harus sudah terbentuk sebelum Pilkada serentak
nasional 2027. Keempat, yang masa jabatan
kepala daerah habis di tahun 2015 dan semester pertama 2016 Pilkadanya
dilaksanakan Desember 2015. Yang masa jabatannya berakhir di semester akhir
2016 dan berakhir 2017 Pilkadanya dilaksanakan di Februari 2017. Yang masa
jabatannya berakhir di tahun 2018 dan 2019 Pilkadanya di bulan Juni 2018.
Kelima, Pilkada tak menggunakan ambang batas
minimal kemenangan. Calon yang mendapat suara terbanyak akan menjadi pemenang.
Aturan ini dibuat atas alasan efisiensi. Keenam,
hubungan kekerabatan anak atau orang tua, suami-istri, menantu-mertua, tidak
boleh ikut Pilkada di satu daerah, kecuali setelah jeda satu masa jabatan.
Ketujuh, pembiayaan Pilkada dari APBD dan APBN.
Kedelapan, persyaratan pendidikan SMU. Terakhir, uji publik ditiadakan,
diserahkan ke masing-masing parpol dalam bentuk sosialisasi.
Beberapa point dalam revisi tersebut bertentangan dengan
semangat perubahan yang diusung oleh UU PEMILUKADA yang baru. Pertama mengenai
calon kepala daerah yang harus dipilih secara berpasangan, selama ini dalam
prakteknya banyak sekali kepala daerah yang pecah kongsi, data dari Mendagri
menyebutkan bahwa hingga saat ini pasangan kepala daerah mencapai angka 93 persen
pecah kongsi atau sekitar 986 pasangan dan hanya 7 persen atau 40 yang
berpasangan kembali. Hal tersebut terjadi karena adanya “kawin paksa” yang
dilakukan oleh parpol pengusung pasangan calon kepala daerah yang hanya melihat
faktor politik kekuasaan di daerah tanpa melihat faktor kesesuaian ideologi
serta visi misi calon kepala daerah dengan pasangannya, sehingga pada saat
menjabat timbul gesekan-gesekan politik yang menyebabkan ketidakharmonisan
dalam melaksanakan tugasnya sebagai kepala daerah yang berdampak kepada
terhambatnya proses pemerintahan di daerah. Apabila pemilukada tidak dipilih
secara berpasangan, maka kepala daerah dapat memilih sendiri wakilnya yang
sesuai dengan ideologi serta visi misinya, sehingga kasus pecah kongsi tersebut
dapat diminimalisir.
Point Kedua mengenai penyelesaikan sengketa Pemilukada
dimana Mahkamah Konstitusi kembali diberikan mandat setelah sebelumnya sempat
diberikan kepada Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi kurang tepat apabila
menyelesaikan kasus sengketa PEMILUKADA ini karena MK telah menghapus Pasal 236 C UU No.
12 Tahun 2008 tentang
Pemerintahan Daerah dan Pasal 29 ayat (1) huruf e UU No.
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman terkait kewenangan MK mengadili sengketa pemilukada. Sehingga
perlu secepatnya dibentuk badan peradilan khusus yang menangani kasus
PEMILUKADA ini,
Point Terakhir mengenai dihilangkannya uji publik bagi
calon kepala daerah sangat disayangkan karena
point ini sangat prinsip dan fundamental. Sebab, uji publik menjadi
keniscayaan dalam rangka menciptakan pilkada yang transparan dan akuntabel
serta untuk melahirkan pemimpin daerah yang teruji kualitasnya, baik secara
moral, intelektual, sosial, serta memiliki rekam jejak yang baik dan tidak
tercela.
Walaupun
demikian ada beberapa point positif dari revisi UU Pemilukada tersebut antara
lain adanya semangat untuk melaksanakan pemilukada serentak secara nasional
pada tahun 2020 sehingga akan tercipta pemerintahan daerah efektif dan efisien serta menghindari konfil
dan adanya kepastian hukum hingga terciptanya keselarasan dan harmonisasi, lalu
dengan tidak bolehnya keluarga inti kepala daerah untuk mengikuti pemilukada
periode berikutnya dapat mencegah adanya politik dinasti yang dikuasai oleh
kelompok tertentu.
Setelah
pemilihan umum presiden, beberapa partai nasional terlibat dalam konflik
internal yang mengakibatkan adanya dualisme kepengurusan partai, hal tersebut
dapat menimbulkan masalah dalam proses pemilukada, karena KPU harus melakukan
proses verifikasi calon kepala daerah melalui pengurus partai baik di tingkat
daerah maupun tingkat nasional. Apabila masalah ini belum terselesaikan maka
akan timbul masalah baru dimana masing-masing kepengurusan akan mengajukan
calon kepala daerah yang berbeda, dimana KPU hanya akan memverifikasi
kepengurusan yang diakui oleh Kemenkumham. Diharapkan konflik internal partai
ini dapat segera terselesaikan sebelum proses pemilukada dilaksanakan, sehingga
ada kepastian hukum dalam proses pencalonan kepala daerah oleh partai.
No comments:
Post a Comment