Dalam beberapa bulan terakhir ini kita tidak bisa menikmati film hollywood di Indonesia, padahal tahun ini banyak sekali film box office bermunculan, mulai dari Fast 5 Furious, Kungfu Panda 2, Thor, Transformer 3, hingga film yang paling ditunggu yaitu Harry Potter Deadlhy Hallow Part2 yang merupakan Seri terakhir Harry Potter, penggemar film hollywood tentunya sangat kecewa sekali dengan adanya “penghentian” film impor oleh pemerintah. Tapi bergembiralah penggemar film-film tersebut, karena pemerintah sudah membuka kembali keran impor film dari Hollywood dan diperkirakan akhir bulan juli 2011 film-film tersebut bisa dinikmati di bioskop-bioskop tanah air. Lalu sebenarnya ada apa dibalik penghentian itu semua?.
Perlu dijelaskan sebelumnya, bahwa yang memproduksi film-film hollywood itu kebanyakan tergabung dalam MPAA, yaitu sebuah asosiasi produsen film di Hollywood. Selama ini Importir film di Indonesia adalah 21 Cineplex yang merupakan importir tunggal di Indonesia sejak era orde baru lalu, setelah ditelusuri ternyata 21 ini mempunyai tunggakan pajak sebesar 250 Miliar kepada Dirjen Pajak dalam hal cukai film impor, jumlah yang sangat besar bukan? Dengan pajak sebesar itu dapat menambah pundi-pundi keuangan negara untuk mebiayai kebutuhan masyarakat luas. Pertanyaannya kenapa baru diungkap sekarang? menurut saya kenapa baru diungkap sekarang bisa jadi terjadi praktik KKN sebelumnya, dimana 21 ini dahulu didirikan oleh salah satu kerabat soeharto, dan mungkin hingga era reformasi tidak terendus oleh pemerintah atau mungkin pemerintah di era reformasi juga terlibat KKN? Sehingga pengemplang pajak bisa dibiarkan begitu saja, tentu ini bukan rahasia lagi dan sudah bisa ditebak. Di masa jabatan Menteri Keuangan Agus Martowadjoyo, penerimaan negara dari pajak dan cukai berusaha dioptimalkan dan dari situ pula ditemukan bahwa adanya masalah tersebut, sehingga menteri keuangan memberikan sanksi kepada dua perusahaan importir film yang dimiliki 21 yaitu Camila Internusa Film & PT Satrya Perkasa Esthetika Film.. Dampaknya adalah tidak adalagi film produksi MPAA yang ditayangkan di bioskop Indonesia sejak awal tahun 2011, hal ini dikarenakan karena 21 merupakan satu-satunnya pemegang monopoli import film dari MPAA Hollywood.
Setelah kisruh masalah tersebut akhirnya muncullah perusahaan importir film baru yaitu PT Omega Film, perusahaan baru yg didrikan 17 Januari2011 didepan notaris Ilmiawan Dekrit S.H. Omega Film mau dikesankan sebagai perusahaan impor baru yg datang dari luar Group 21. Artinya, dia tak harus bayari utang bea masuk. Dan beberapa waktu lalu, pada Awal Juli 2011 Majalah Tempo & Kompas (Ditulis kritikus film Kristanto JB) membongkar praktek busuk tersebut. Omega terbukti adalah perusahaan yang dibentuk baru oleh pemain lama atau pihak 21 Group. Bahkan, mereka sengaja menunjuk kurir jadi direksinya. Kementerian Keuangan pun segera beraksi, Omega Film pun diblokir izinnya. Tidak hanya itu, 5 perusahaan baru lain dari 21 Group jg diblokir. Omega diblokir tapi Menbudpar Jero Wacik yang bereaksi. 2 statementnya yg pertama kali dimuat detik..com memperlihatkan dia amat berang. Statementnya yg pertama, Menbudpar tidak mau perduli terhadap monopoli yang penting buat dia film2 jenis HarryPorter harus masuk di Indonesia. Statement kedua, dia marah betul mengapa Kemenkeu harus tarik pajak atas royalti film impor itu. "Jangan cari pajak di film", katanya. Kepala Badan Fiskal Kemenkeu, Bambang, balas mengejek Menbudpar sebagai orang tidak punya kesadaran berbangsa. Jerok Wacik tarik ucapannya. Meskipun tarik ucapan, tapi Menbudpar tidak ubah pendiriannya untuk menolong 21 Group. Tidak ada urusan dengan historisnya Omega pun jalan terus. Yang diubah, Omega cuma mengganti direktur, Syaiful Atim, yg dari mantan staf kurir 21. Ia digantikan oleh Ajay Fulwani. Pemblokiran Omega Film dulu dilakukan oleh Ditjen Bea Cukai atas dasar karena terbukti bentukan dari pemain lama, maksudnya 21 Group. Dengan penunjukan Ajay Fulwani sebagai direktur baru Omega, justru pihak 21 Group menantang, Omega memang perusahaannya. Ajay Fulwani adalah putera Fulwani-- importir film tahun 70 an. Ajay tepatnya kemanakan Harris Lesmana, salah satu boss besar 21 Group.
Pertanyaannya: Bagaimana penyelesaian pembayaran kewajiban pada negara sebesar Rp 250 milyar yg sudah jatuh tempo sejak 12 Maret lalu? Rasanya kita pesismis uang negara itu bisa diselamatkan lagi. Meski Jero Wacik katakan urusan itu jalan terus di pengadilan pajak. Malah ada indikasi uang negara itu sudah ke laut, dikemplang entah oleh (ide) siapa. PT Camila & Satria Film sudah berganti direksi pula. PT Camila & Satria Film mulai diaudit bulan juli 2010. Akhir Desember 2010, seluruh owner yang menjadi direksinya rame mengundurkan diri. Yang ditunjuk mengganti karyawan kecil, yang menurut orang dalam kalau dilakukan penyitaan harta, negara hanya dapat sepeda motor & rumah BTN. Dari dimensi waktu pergantian, itu terjadi menjelang Ditjen Bea Cukai keluarkan surat penetapan harus membayar bea cukai & denda Rp 250 M.
Bagaimanapun, paling tidak Kementrian Keuangan & Kementrian Budaya Pariwisata paling bertanggung jawab atas hilangnya uang negara tersebut. Kemenkeu & Kemenbudpar pada awal kejadian ini seiring sejalan untuk menegakkan aturan. Namun, di tengah perjalanan, tiba2 mengendor. Ada apakah gerangan? Apakah ada KKN disini? Menjelang ending Kemenkeu kelihatan berusaha kembali berkeras, sedangkan Kemenbudpar langsung memposisikan diri seperti orang dalam 21 Group. Menurut orang dalam Kemenkeu, mereka dapat tekanan dari pihak2 yang mengaku orang dekat Cikeas. Kita tidak tahu persis siapa mereka itu. Hmm rupanya ada keterlibatan kekuasaan, apakah partai penguasa lagi yang bermain, kebetulan kadernya banyak yang terindikasi bermasalah dan sedang menghilang ke luar negeri. Sempat disebut-sebut nama Hartati Murdayah Poh, Hatta Radjasa, Dino Patti Jalal. Adapun Jero Wacik berperan sebagai operatornya. Saya setuju pada usul untuk mengajukan skandal ini ke KPK. Yang terlibat, semuanya harus bertanggung jawab terhadap hilangnya uang negara.
Bagaimana menurut rekan- rekan sekalian? Mana yang lebih penting: Pajak negara Rp 250 Milyar atau film terakhir Harry Potter dan/atau Transformers?
Saya bukan melarang rekan-rekan sekalian buat nonton di bioskop atau bagaimana,
Tapi alangkah baiknya hal ini jadi bahan renungan kita semua.
Apakah pantas kita mengorbankan pendapatan negara dan harga diri bangsa demi keinginan kita menonton Harry Potter, Transformers, dll? Ya sebuah dilema tentunya, tapi buat alay-alay ababil mereka gak peduli, yang penting nonton dan nonton dan senang-senang haha, marah-marah sama pemerintah padahal duduk persoalannya saja tidak tahu.